Jakarta (ANTARA) - Sudah satu tahun lebih Provinsi Bali mengalami keterpurukan akibat pandemi COVID-19. Tak hanya dari sektor perekonomian, namun juga sektor kesehatan.
Dalam masa pandemi, perempuan menjadi sosok yang rentan terdampak. Namun, perempuan di Bali tetap bertahan, berjuang dengan caranya masing-masing, menjalani aktivitas dan kehidupan di tengah pandemi.
Salah satunya, Nur Hayati, perempuan asal Cilacap Jawa Tengah yang merantau di Denpasar, Bali. Nur bekerja sebagai karyawan salah satu agen travel swasta.
Bekerja di sektor pariwisata di saat pandemi di Bali terkesan riskan. Namun, Nur mau tak mau memutar otak untuk mengubah pola pikir kerja di sektor pariwisata.
"Tahun lalu kami tiarap. 'Travel agent', hotel, toko-oleh-oleh dan semua yang berkaitan dengan wisata enggak bisa banyak bergerak, dan kita harus benar-benar ubah 'mindset' (pola pikir) bahwa tren wisata belum bisa kembali seperti dulu," ujar dia.
Mengubah pola pikir pun tidak mudah, lantaran belasan tahun sudah Nur bekerja di sektor wisata dengan pola yang sama. Pandemi pun membuat semua orang merasa lelah. Dia mengambil peluang menawarkan tren wisata baru.
"Setelah ada pandemi, tren wisatanya mulai bergeser. Arahnya lebih untuk menghilangkan penatnya masa-masa 'stay at home' untuk waktu yang lama," ujar dia.
Nur mengatakan pariwisata di Bali mulai pelan-pelan bangkit sejak akses wisatawan domestik dibuka pada Juli 2020. Semua pihak pun bekerja sama membangkitkan Bali supaya bisa aman untuk dikunjungi.
Dimulai dari warga yang mulai patuh menggunakan masker, hingga para pecalang dan dinas terkait aktif berkeliling patroli penerapan protokol kesehatan. Di objek wisata pun, petugas tidak kalah rajinnya. Mereka mengingatkan wisatawan tentang protokol kesehatan.
Yang lebih tidak kalah menarik, menurut pandangan Nur, ada fenomena yang muncul di kalangan warga Bali yang tak biasa.
"Banyak orang-orang kembali ke ladang untuk bercocok tanam dengan segala inovasi yang ada. Di poin ini, ada banyak pembelajaran yang diambil, bahwa masyarakat Bali enggak bisa cuma 'ngandelin' pariwisata yang udah dua kali kena serangan, yaitu bom Bali dan COVID-19," ujar dia.
Di desa
Jika itu terjadi di wilayah perkotaan, maka lain cerita dengan di wilayah pedesaan. Misalnya di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali.
Astri Widyani harus bertahan saat desa wisata tersebut harus tutup untuk menyesuaikan dengan kondisi pandemi. Sebelumnya, desa tersebut terkenal dengan wisata ramah lingkungan dan mendatangkan banyak devisa dari turis lokal dan mancanegara.
Kehidupan desa tersebut tergantung pada pemasukan dari wisatawan yang berkunjung serta penjualan aksesoris, makanan dan minuman khas hingga festival.
"Kalau jujur, sedih, berat juga. Suami juga bekerja sebagai guru honorer, tapi kami bertumpu di pariwisata. Biasanya setiap hari ada aja rezeki, tetapi pas pandemi, beneran diam di rumah aja," katanya.
Dalam enam bulan bertahan tanpa pengunjung, Astri dan warga desa kembali berjualan dengan membuat kebutuhan pokok keagamaan seperti canang hingga mengurus ladang dan hutan bambu.
Di desa adat pun menyediakan berbagai kebutuhan selama pandemi untuk para warga seperti panyanitasi tangan, masker, dan alat disinfektan.
Selain itu, warga desa menggunakan penghasilan tiket masuk desa wisata untuk berbagi kebutuhan pokok secara gratis, guna bertahan selama ditutup untuk publik seperti beras, telur, dan mi.
Di awal pandemi, Astri mengatakan desa adat Penglipuran benar-benar dijaga ketat oleh pecalang dan dilakukan disinfeksi seminggu sekali di rumah warga.
Setiap warga dari luar desa yang akan masuk Penglipuran juga wajib disemprot disinfektan.
"Setiap sudut desa ada pecalang. Kalau ada orang luar disemprot-semprot dulu sebelum masuk sini. Jadi di sini enggak ada kasus COVID-19," katanya.
Selama pandemi, kebutuhan dapur dan rumah tangga menjadi hal genting. Apalagi dia memiliki dua anak, balita dan bayi. Untuk memenuhi kebutuhan seperti susu dan popok bayi, tak jarang dia harus berutang.
Selain itu, karena lebih sering di rumah, tak jarang berefek pada keadaan psikis Astri. Keinginan untuk berjalan-jalan harus ditahan, namun hal itu harus segera dialihkan ke kegiatan lain.
"'Sharing' (berbagi) aja sama teman-teman, karena pasti stres juga mikirin dapur harus ngebul setiap hari," kata dia.
Keterpurukan ekonomi
Pandemi COVID-19 yang menyebabkan keterpurukan ekonomi mempunyai dampak besar pada kaum perempuan di Provinsi Bali, diakui Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati.
"Justru para ibu-ibu, para perempuan yang banyak tersentuh akibat dampak ekonomi ini," ujarnya.
Pria yang akrab disapa Cok Ace tersebut, mengatakan permasalahan perempuan di Bali sangat beragam, bahkan ada seorang ibu muda yang bunuh diri gara-gara tidak mampu membayar utang akibat pandemi COVID-19.
Ia juga mengungkap satu kasus kriminal yang menimpa anak yang sedang membantu ibunya berjualan di Pasar Kreneng. Anak itu ditodong dan diambil uang serta jualannya di suatu jalan di Denpasar.
Bahkan, katanya, di Kabupaten Gianyar Pasar Blahbatu Gianyar terbakar, Selasa (15/6) sore, dengan korban juga para ibu yang sebagian besar menjadi pedagang. Pada kebakaran itu, 602 pedagang kios yang hampir sebagian besar adalah ibu-ibu telah kehilangan mata pencaharian.
"Mereka berjualan alat-alat upacara yang justru bulan-bulan ini sebenarnya mereka mendapatkan keuntungan lebih baik, karena upacara di Bulan Juli ini banyak upacara adat, namun justru mengalami musibah," ungkap Cok Ace.
Terkait pandemi ini, kata dia, tidak saja masalah kesehatan yang harus diselesaikan, tetapi juga ekonomi, sosial, dan muncul gangguan keamanan lainnya.
"Hal tersebut membuat Provinsi Bali menjadi yang paling terpuruk akibat COVID-19 dari 34 provinsi di Indonesia," katanya.
Rentan paparan
Hal tersebut merupakan salah contoh kasus betapa perempuan di Bali sangat rentan terdampak pandemi COVID-19.
Jika ditinjau secara keseluruhan, berdasarkan sumber Satgas Penanganan COVID-19, proporsi perempuan yang tengah menjalani perawatan akibat terinfeksi COVID-19 di Indonesia mencapai 51,3 persen hingga akhir 28 Mei 2021. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan persentase laki-laki yang 48,7 persen.
Tren serupa terlihat pada total kasus positif COVID-19. Sebanyak 51,2 persen dari total kasus positif merupakan perempuan, sedangkan laki-laki 48,8 persen. Artinya, perempuan sangatlah rentan terdampak dari aspek kesehatan maupun ekonomi.
Apabila perempuan rentan terpapar pandemi COVID-19, hal tersebut tak jarang pula berpengaruh pada ketahanan keluarganya selama masa paparan masif virus tersebut berlangsung.
Oleh karenanya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak seluruh keluarga di Tanah Air meningkatkan disiplin protokol kesehatan saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk Jawa dan Bali.
Hal itu penting untuk merespons kebijakan yang baru diterapkan, yakni PPKM Darurat yang ditetapkan pada periode 3-20 Juli 2021, dengan target penurunan penambahan kasus konfirmasi kurang dari 10.000 kasus per hari.
Menteri Bintang mengajak seluruh masyarakat menaati kebijakan tersebut karena lebih baik menjaga dan menghindarkan dari COVID-19 daripada tertular virus dan buruk akibatnya.
“Apabila ada anggota keluarga yang telah terinfeksi virus, segera konsultasikan ke dokter, untuk penanganan lebih lanjut," katanya.
Saat ini, kementeriannya telah menyusun dan menerbitkan protokol kesehatan keluarga yang dapat diakses di website dan akun sosial media resmi Kementerian PPPA.
“Dalam kondisi seperti saat ini, kita harus senantiasa saling mendukung dan saling membantu sesama yang membutuhkan. Jika kita bersinergi dan bersatu, saya yakin dan percaya kita bisa melalui masa-masa sulit ini dengan baik,” katanya.
Perempuan, di sisi lain, menjadi kunci ketahanan keluarga di masa pandemi COVID-19, terutama dalam segi peningkatan ekonomi maupun disiplin penegakan protokol kesehatan.
Oleh karenanya, perlindungan terhadap para perempuan di masa kini menjadi prioritas negara, agar para perempuan tetap bertahan dan menjadi pendukung upaya pemerintah memutus mata rantai penularan COVID-19.