Denpasar (ANTARA) - Ahli virologi dari Universitas Udayana Prof Dr I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan untuk membuka pariwisata setempat bagi wisatawan mancanegara, idealnya cakupan vaksinasi COVID-19 di Provinsi Bali harus sudah mencapai 70 persen dari populasi penduduk.
"Cakupan vaksinasi 70 persen itu tentu untuk kelompok berisiko, yang berusia 18 tahun atas. Tidak hanya bagi lansia, namun juga diprioritaskan bagi mereka yang masuk kelompok sosial aktif seperti mahasiswa dan anak-anak SMA," kata Prof Mahardika di Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, dengan cakupan vaksinasi sudah 70 persen diyakini kasus baru COVID-19 akan melandai sehingga akan memberi kenyamanan bagi masyarakat setempat dan juga wisatawan yang datang, seperti halnya yang sudah terjadi di sejumlah negara maju di Eropa.
"Sepertinya halnya di Inggris, dengan cakupan vaksinasi sekitar 50 persen, mereka sementara ini sudah berhasil mengendalikan kasus. Dari yang sebelumnya hingga 70 ribu kasus per hari pada Januari, kini menjadi sekitar 2.000-3.000 kasus per hari," ucapnya dalam diskusi yang digelar Forum Peduli Bali itu.
Baca juga: Kemenkes dorong "medical tourism" di Bali
Paling tidak, ujar dia, Bali secepatnya harus mengejar cakupan vaksinasi COVID-19 untuk dosis kedua hingga mencapai 50 persen lebih, barulah akan dapat terlihat dampak dari vaksinasi yang telah dilakukan.
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19 Provinsi Bali, tercatat hingga Jumat (18/6), masyarakat Bali yang sudah mendapatkan vaksin untuk dosis pertama sebanyak 1.874.213 orang dan vaksin untuk dosis kedua sebanyak 706.089 orang.
Bali menargetkan dapat memvaksin 3 juta orang untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) 70 persen dari total populasi masyarakat Bali yang sekitar 4,3 juta jiwa.
Selain pentingnya cakupan 70 persen vaksinasi, Mahardika mengatakan wisatawan mancanegara yang datang ke Bali juga harus telah menjalani vaksinasi lengkap (dua kali).
"Wisatawan ketika masuk ke Bali pun harus difilter dengan uji swab PCR. Tidak bisa ditawar-tawar hanya menggunakan rapid antibodi, rapid antigen ataupun Genose karena itu banyak bolong-bolongnya atau sensitivitasnya hanya sekitar 75-80 persen sehingga penanganannya menjadi tidak maksimal," ujar Mahardika.
Mahardika pun mengharapkan pemerintah daerah lebih menggencarkan atau mengintensifkan ULI yakni uji, lacak dan isolasi agar penambahan kasus baru COVID-19 dapat dikendalikan.
Baca juga: Wagub Bali minta masyarakat optimis pariwisata bisa tumbuh
"Fluktuasi kasus baru COVID-19 masih sering terjadi karena ULI tidak pernah dilakukan dengan cara intensif akibat berbagai keterbatasan yang terjadi di lapangan," katanya.