Oleh I Ketut Sutika
Sekitar 45 wanita mengenakan kebaya dengan warna menyolok yang dirancang khas Pulau Dewata, duduk bersimpuh secara berderet di depan aneka jenis gamelan perangkat Gong Kebyar Bali, dengan instrumen yang tergolong lengkap dibanding jenis musik lainnya.
Sosok wanita dalam posisi duduk itu, kedua tangan memukul gendang khusus dengan alat pemukul gendang sehingga membentuk instrumen gamelan dengan lincah.
Saat alat pemukul gamelan (panggul) digerakkan menyentuh aneka jenis perangkat gamelan, alunan instrumen musik tradisional Bali itu mengumandang dan disambut tepuk tangan meriah ribuan penonton yang memadati panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar.
Pada parade gong kebyar wanita yang berhadapan Sekaa Gong Mekar Suara Santi Lingkungan Puri Kanginan Kabupaten Bangli dengan Sekaa Praja Nara Swari Kabupaten Klungkung di panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar pada hari keempat, Rabu malam (13/6) mendapat sambutan meriah.
Penampilan pertunjukkan pada malam itu menjadi primadona aktivitas seni tahunan yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Minggu (10/6).
Parade gong kebyar wanita juga dijadwalkan berlangsung Jumat, 22 Juni 2012 dipersembahkan Sekaa Gong Baswati Padmanari PKK Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar bersama Sekaa Gong PKK Srikandi Petak Desa Bengkel, Kabupaten Buleleng.
Ke delapan Kabupaten dan satu kota di Bali masing-masing menyiapkan satu grup sekaa gong kebyar wanita, di samping sekaa gong kebyar dewasa dan anak-anak, kata pembina gong kebyar PKB I Nyoman Astita, MA yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Setiap penampilan gong kebyar, baik wanita, dewasa dan anak-anak di arena PKB mendapat perhatian besar masyarakat yang memadati panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar yang berkapasitas sekitar 8.000 tempat duduk.
Nyoman Astita yang melakukan pembinaan kepada duta seni ke masing-masing kabupaten dan kota itu menilai, parade gong kebyar wanita, tampaknya menjadi salah satu "magnet" yang mampu menyedot ribuan penonton PKB yang berlangsung sebulan penuh, 10 Juni-9 Juli 2012.
Tabuh-tabuh kreasi yang disuguhkan cukup memasyarakat berkat pelaksanaan PKB yang digelar sejak 1978 atau 34 tahun silam. Tabuh kreasi yang diciptakan terinspirasi dari bunga yang mekar selalu menebarkan pesona dan keharuman yang memikat bagi para penikmat seni.
Tabuh kreasi itu menggunakan konsep penggarapan kesenian Bali dengan mengombinasikan unsur-unsur musik tradisi yang ada.
Tabuh tabuh kreasi yang setiap tahunnya diperkaya dan wajib ditampilkan mengiringi gerak tari-tari lepas mampu memberikan nuansa baru bagi para penikmat seni.
Duta seni Kabupaten Bangli maupun Klungkung selain menyuguhkan tabuh kreasi mengiringi tari lepas juga menampilkan tabuh lelambatan, tari Pendet dan tari olah tubuh yang mampu memupau penonton.
Parade gong kebyar menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Ketut Suastika merupakan salah satu dari enam agenda PKB, kegiatan lainnya meliputi atraksi budaya, pementasan, saresehan, festival film dekomenter serta pameran industri kecil dan kerajinan rumah tangga.
Kegiatan parade seni tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan greget PKB, sekaligus memotivasi seniman, perajin termasuk masyarakat umum untuk melangkah lebih maju, sesuai perkembangan zaman, tanpa menghilangkan esensi kehidupan berkesenian.
Dengan demikian diharapkan mampu memunculkan rasa untuk terus mengisi diri dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan dalam menghadapi arus komunikasi yang semakin terbuka, katanya.
"Sekaligus memberikan ruang kepada seniman, perajin dan kelompok masyarakat berkompetisi secara sehat, dengan harapan mampu memunculkan semangat untuk berkreativitas menghasilkan karya seni inovatif," harap Ketut Suastika.
Gelisah Kreatif
Budayawan Bali yang juga mantan Gubernur Bali almarhum Prof Dr Ida Bagus Mantra yang menggagas PKB yang digelar sejak 34 tahun silam itu menjadikan seniman Bali mengalami "kegelisahan" kreatifnya.
Rasa kegelisah itu menurut pengamat seni yang juga dosen Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Kadek Suartaya, SSN, MSI itu muncul dari kreasi-kreasi tabuh yang dimainkan penabuh-penabuh secara mapan, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, orang tua, termasuk wanita.
Ketika tabuh kebyar dikembangkan di Bali Utara oleh seniman I Gede Manik sekitar tahun 1950 lalu, tampaknya tidak ada lagi perkembangan berarti di dunia karawitan Bali. Meski kadang terdapat perubahan baru pada ornamen, namun belum menunjukkan pola garapan yang betul-betul baru.
Pada awalnya hanya berkembang dua tarian yang mengiringi gong kebyar, yakni tari Tarunajaya dan tari Wiranjaya, namun sekarang muncul berbagai jenis ciptaan tari dan kerawitan baru yang bersaing sengit merengkuh kedigjayaannya.
Tari Tarunajaya merupakan kebanggaan masyarakat Dangin Enjung (Buleleng Timur) sedangkan tari Wiranjaya adalah maskot seni pentas kebyar masyarakat Dauh Enjung (Buleleng Barat).
Dalam gelanggang gamelan mebarung Gong Kebyar yang gencar digelar untuk memeriahkan aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata, tarian Tarunajaya dan Wiranjaya ditampilkan dengan sarat euforia, heboh, dan bergengsi.
Namun setelah lebih dari setengah abad rivalitas dua karya tari seniman Bali Utara itu senyap, kini mampu sebagai daya tarik tersendiri pada setiap pelaksanaan PKB, aktivitas seni tahunan yang digelar secara berkesinambungan di Bali.
Gong kebyar yang dikenal Bali sekarang menurut Kadek Suartaya tidak bisa dilepaskan dengan peran seniman tabuh dan tari I Gede Manik, penari pertama dari tari Kebyar Legong, asal Kabupaten Buleleng, Bali utara.
Pada suatu saat, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari tari Kebyar Legong yang sering dibawakannya, ia menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya, namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis.
Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik itu tidak mempunyai nama, namun dikenal sebagai tari kebyar Dangin Enjung. Pada suatu hari, tahun 1950, gong kebyar itu ditampilkan di depan Bung Karno, presiden RI pertama dan sejumlah tamu-tamunya di sebuah hotel di Denpasar.
Tamu-tamu penting termasuk Presiden Soekarno itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi takjubnya terhadap pentas tari yang begitu energik dengan dukungan tatabuhan gamelan yang gegap membuncah. Soekarno kemudian memberi nama karya tari tersebut Tarunajaya.
Tari Tarunajaya mempesona penonton yang ditampilkan setiap parade gong kebyar. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan masih menggugah, berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman.
Betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik dan berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya.
Demikian juga penampilan tari Tarunajaya dalam memeriahkan PKB XXXIV tahun 2012 yang mengundang decak kagum penonton.(IGT/T007)