Badung (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali melirik potensi wisatawan "digital nomad" atau kalangan profesional yang memanfaatkan teknologi untuk menggeliatkan pariwisata setempat yang terpuruk akibat dampak pandemi COVID-19.
"Selama ini pariwisata Bali hanya mengandalkan ada wisatawan 'leisure', kemudian kita kembangkan pariwisata MICE. Namun, sampai saat ini kedua potensi itu tidak bisa berjalan," kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Putu Astawa di Kuta, Kabupaten Badung, Kamis.
Menurut Astawa, baik wisata leisure (rekreasi) maupun MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) saat ini tidak bisa berjalan karena pandemi COVID-19 melarang terjadinya kerumunan banyak orang dan melarang orang untuk bepergian.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali bahkan mencatat kunjungan wisman ke Bali pada Maret 2021 hanya tiga orang, dan secara kumulatif dari Januari-Maret 2021 sebanyak 25 wisatawan mancanegara.
Baca juga: Kemenkominfo jadikan Denpasar tempat peluncuran literasi digital nasional
"Pandemi COVID-19 telah mengajarkan manusia bagaimana harus hidup bersih dan sehat, selain itu pandemi juga mengenalkan kita pada kehidupan digital," ucapnya saat melakukan pemantauan terhadap kegiatan para digital nomad di Dojo Bali Coworking, Kuta Utara, Badung itu.
Astawa yang didampingi oleh para kelompok ahli pembangunan Provinsi Bali bidang pariwisata juga menyampaikan bahwa Bali akan perius menangani pariwisata digital nomad ini.
Untuk itu, diperlukan banyak informasi yang berkaitan dengan kegiatan para digital nomad di Bali. "Jadi untuk menggali informasi itulah, saya dan rombongan melakukan pemantauan dan menggali informasi dari pemilik Dojo Bali Coworking, Michael Craig, sehingga ke depan bisa dibuatkan kebijakan terkait para digital nomad," ujarnya.
Menurut Michael Craig, wisatawan asal Australia yang sudah hampir 10 tahun di Bali ini mengatakan digital nomad memiliki potensi yang sangat bagus dikembangkan di Bali.
"Digital nomad adalah orang-orang kelas menengah ke atas, jadi mereka adalah orang-orang berduit. Mereka tinggal di Bali dalam jangka waktu yang cukup lama minimal setahun. Jadi masa tinggal yang lama akan berdampak pada ekonomi masyarakat di Bali dari akomodasi, makan minum dan kebutuhan lainnya, ucapnya.
Baca juga: Sri Mulyani: Potensi ekonomi digital RI 2025 hingga 124 miliar dolar AS
Ia menambahkan, selama masa pandemi, Bali adalah tempat yang dianggap paling aman bagi para digital nomad untuk tinggal dan bekerja. "Dengan berkembangnya pariwisata digital nomad, maka juga akan berdampak pada pendapatan pemerintah dari sektor pajak," ujarnya.
Sementara itu, Ketua PHRI Badung yang juga anggota Kelompok Ahli Pembangunan bidang Pariwisata, IGAN Rai Suryawijaya sangat mendukung pengembangan pariwisata di sektor ini.
"Dengan adanya wisatawan ini akan bisa memberi peluang juga pada akomodasi-akomodasi masyarakat seperti homestay, villa maupun akomodasi milik masyarakat lainnya," ujarnya.
Tentunya ini perlu mendapat perhatian khusus pemerintah, maka dari itu perlu dibuat diskusi kelompok terpumpun (FGD) untuk memberi masukan kepada pemerintah terkait kebijakan yang harus dikeluarkan nanti.