Jakarta (ANTARA) - Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Kemaritiman, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Septriana Tangkary, mengatakan literasi digital di Indonesia ibarat dua mata pisau.
"Di satu sisi, hal ini dapat meningkatkan kesetaraan informasi, namun di sisi lain informasi dapat berkembang dengan sangat cepat dan tidak terkontrol," kata Septriana dalam siaran pers, Jumat.
Laju perkembangan teknologi komunikasi yang terjadi saat ini berjalan beriringan dengan meningkatnya potensi timbulnya hoaks. Kesalahan informasi ini harus dicegah di seluruh lapisan masyarakat karena dapat berdampak pada kesalahan persepsi hingga tindakan yang merugikan.
Baca juga: Panglima TNI: media sosial dapat picu kerusuhan
Data dari Kemkominfo pada tahun 2017 mencatat terdapat sekitar 800.000 situs yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Selain itu, data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan bahwa jumlah hoaks yang tersebar di Indonesia mencapai 2.298 di tahun 2020, naik dari 1.221 hoaks pada tahun sebelumnya.
Secara garis besar, terdapat tiga jenis hoaks yang sering terjadi. Yang pertama adalah disinformasi, yaitu informasi yang tidak benar atau tidak akurat, namun orang yang menyebarkannya meyakini informasi tersebut sahih dan dapat dipercaya.
Kedua adalah disinformasi, di mana informasi tidak benar yang sengaja dibuat/direkayasa untuk membohongi masyarakat. Ketiga adalah malinformasi, yang berarti informasi yang benar, namun tujuan penyebarannya adalah untuk merugikan pihak lain.
Pada umumnya, hoaks banyak beredar luas melalui media sosial karena jarang terjadi pengecekan sumber fakta sebelum dibagikan antara satu pengguna ke pengguna lain. Perlu dilihat juga bahwa ciri ciri hoaks adalah sumber berita yang tidak jelas, membangkitkan emosi, meminta agar disebarkan, dan artikel yang tidak menyebutkan fakta.
Baca juga: Pemilik akun Facebook Noni Vhian ditangkap terkait ujaran kebencian
“Di Indonesia perlu berhati-hati karena berdasarkan data Mafindo, tiga topik utama yang banyak di media sosial adalah terkait kesehatan, politik, dan kriminalitas. Hoaks bisa tergolong jenis satire atau parodi, konten menyesatkan, konten tiruan, konten palsu, konten dengan koneksi yang salah, konten yang salah, maupun konten yang dimanipulasi.” kata Dewi Sari, Direktur Operasional Masyarakat Mafindo.
Langkah utama dalam mencegah dampak buruk hoaks adalah dengan mengidentifikasi informasi yang kita terima. Edukasi kepada masyarakat mengenai cara menyaring informasi maupun menanggapi hoaks dengan bijak juga perlu diberikan. Selain itu, dipaparkan juga bahwa mengetahui mekanisme atau tata cara pengaduan informasi hoaks juga penting untuk menghentikan penyebaran informasi yang tidak tepat tersebut.
Danone Indonesia mengedukasi karyawan di seluruh Indonesia dalam sesi “Tangkas dan Cerdas Menumpas Hoaks”. "Maka dari itu, literasi digital seperti yang diselenggarakan Danone Indonesia ini memang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi laju informasi tersebut," kata Septriana.
Arif Mujahidin, Corporate Communication Director Danone Indonesia, menyampaikan,“Danone Indonesia memiliki visi untuk membawa kesehatan ke sebanyak mungkin masyarakat. Dengan edukasi literasi digital, kita dapat memproteksi masyarakat maupun karyawan kami dari dampak buruk hoaks.”
Kominfo: Literasi digital di Indonesia ibarat dua mata pisau
Selasa, 2 Maret 2021 7:54 WIB