Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Kegiatan ritual sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Bali, karena agama, budaya dan adat-istiadat menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan menjadi opini masyarakat umum, terutama dari luar daerah bahwa, aktivitas antara adat, budaya dan agama sulit dibedakan, karena semuanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari masyarakat Pulau Dewata.
"Bali yang dihuni 3,8 juta jiwa itu mewarisi banyak kearifan lokal yang dipercaya dan diyakini mampu menangkal bencana alam maupun musibah dalam menjalani kehidupan sehari-sehari," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Dari sekian banyak kearifan lokal itu, salah satu di antaranya ritual yang disebut "mulang pakelem" yang bermakna memohon keselamatan, kesejahteraan, kedamaian jagatraya dengan segala isinya, baik di darat, laut dan udara.
Lewat kegiatan ritual berskala besar seperti yang pernah dilakukan di komplek Pura Besakih, 9 Januari 2005 dan pasca bom Bali 2002 itu sebagai sarana menetralisir kekuatan jahat yang mengganggu ketenteraman umat manusia.
Kekuatan jahat itu dinetralisir menjadi benih kedamaian, menjaga keseimbangan hidup antara "Skala" (dunia nyata) dengan "Niskala" ( dunia maya) serta terpeliharanya "Bhuana Agung" (macrocosmos) dengan "Bhuana Alit" (microcosmos).
Lewat kegiatan ritual yang dipimpin sejumlah pendeta (ida pedanda) itu memohon agar umat manusia dijauhkan dari segala bencana, musibah dan godaan, serta diberikan bimbingan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Ngurah Sudiana yang juga Dekan Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar itu menjelaskan, dalam lingkungan 1.417 desa adat (Pekraman) di Bali sekali dalam kurun waktu 30 tahun, masing-masing wajib melaksanakan kegiatan ritual skala besar yang disebut "karya Ngenteg Linggih", termasuk di antaranya "mulang pakelem" dengan kelengkapan mengobankan binatang suci.
Demikian pula di Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata saat ritual Panca Wali Krama, yakni kegiatan ritual skala besar setiap lima tahun sekali dan pura-pura "Sad Kahyangan" lainnya wajib melaksanakan "Mulang pakelem".
Ritual "Mulang pakelem" selain rangkaian bebanten, rangkaian janur dan bunga juga dilengkapi dengan berbagai jenis binatang yang sebelumnya telah disucikan meliputi kambing, kerbau, sapi, angsa, penyu dan itik.
Tiga jenis
Ritual "mulang pakelem" yang dilaksanakan umat secara berkesinambungan sesuai tingkatan kecil, menengah, utama (nista, madya, utama) terdiri atas tiga jenis, yakni menenggelamkan binatang korban itu ke laut untuk mohon keselamatan umat manusia beserta isinya di laut.
Menenggelamkan sejumlah binatang suci ke danau untuk memohon keselamatan manusia dan isinya di darat dan "makelem" di puncak gunung untuk keselamatan udara.
Ritual "Mekelam" saat hari-hari baik umumnya dilakukan umat Hindu ke sejumlah pantai di mengelilingi Bali, tiga gunung besar yang meliputi Gunung Agung, Batur dan Gunung Batukaru.
Kegiatan serupa juga dilakukan ke Danau Batur (Bangli), Danau Beratan (Tabanan) serta, Danau Tamblingan dan Danau Buyan (Buleleng).
Ngurah Sudiana menilai, umat hingga saat ini masih memiliki kesadaran yang tinggi dan tulis iklas untuk melaksanakan kegiatan ritual "Makelem" tersebut, meskipun mengorbankan, biaya, tenaga dan waktu.
Mekelem ke puncak Gunung Agung di Kabupaten Karangasem dengan ketinggian 3.142 meter dari permukaan laut harus mendaki gunung dari Pura Besakih yang membutuhkan waktu berjalan kaki 24 jam pergi pulang sambil membawa binatang kurban.
Sementara ritual "pakelem" di danau dan laut tidak masalah, karena bisa menggunakan perahu nelayan maupun kapal penyeberangan antarpulau.
"Pakelem" di Segara Rupek, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, sekitar 120 km Barat Daya Denpasar yang sempat dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika akhir 2011 melibatkan tiga perahu nelayan.
Ketiga perahu sarat dengan muatan aneka jenis binatang kurban dan bebantenan melintasi selat Bali, tepat dipertengahan antara Pulau Jawa-Bali, binatang kurban itu ditenggelamkan ke dasar laut.
Aneka binatang yang disucikan terlebih dulu oleh empat pendeta Hindu yang memimpin upacara itu, meliputi penyu kerbau, sapi, kambing, babi, angsa, itik, ayam dan anjing.
Masing-masing binatang kurban itu terlebih dulu diikat diisi dengan batu serta hasil bumi seperti beras, ketan, injin (beras hitam), beras merah, kelapa dan berbagai jenis kacang-kacangan yang satu sama lain mempunyai arti dan makna tersendiri.
Kegiatan yang melibatkan ribuan umat Hindu itu juga bermakna menyucikan bumi menuju tatanan yang harmonis, mayarakat hidup tentram, damai, rukun dan sejahtera terhindar dari bencana, tutur Ngurah Sudiana.(*/T007)
Pakelem Kearifan Lokal Tangkal Bencana
Sabtu, 21 April 2012 14:22 WIB