Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Sosok raksasa berwajah menyeramkan, bertaring, mata melotot, lidah menjulur dan perut buncit serta berambut gimbal dan awut-awutan akan "turun" ke-bumi 'menguasai' Pulau Dewata pada malam Pengerupukan (22/3), sehari menjelang Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1934.
Boneka berukuran besar dengan tinggi 3,5 sampai lima meter dan lebar dua meter itu merupakan salah satu dari ratusan bahkan ribuan ogoh-ogoh mirip sejenis boneka ondel-ondel di Jakarta, diarak keliling banjar, desa dan kota di Bali pada petang hingga malam peralihan tahun Saka dari 1933 ke 1934.
Pemunculan "makhluk dunia ahirat" menyerupai bentuk "bhutakala" itu, sejalan dengan makna hari "Ngerupuk" yakni mengusir roh jahat, menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yaitu roh atau makluk khasat mata.
"Dunia beserta isinya diharapkan bersih dan bebas dari segala gangguan makhluk maupun roh jahat," tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Anak-anak muda yang tergabung dalam wadah Sekaa Teruna-Teruni maupun sesama rekannya dalam satu pemukiman, atau desa adat (desa pekraman) di Bali secara gotong-royong membuat "ogoh-ogoh" dan mereka secara tidak langsung berlomba-lomba menampilkan yang terbaik, terunik dan termenarik.
Awalnya kreativitas anak-anak muda ini muncul sekitar tahun 1989, saat Pesta Kesenian Bali (PKB), acara tahunan seniman Pulau Dewata yang menampilkan arakan "ogoh-ogoh".
Kenyataan ini oleh beberapa seniman memberikan inspirasi untuk mengembangkan peluang bisnis, karena tidak semua anak-anak muda di banjar sempat membuat ogoh-ogoh.
Semangat dan darah seni itu terus berkembang pada anak muda di kota Denpasar Kabupaten Badung dan tujuh kabupaten lainnya di daerah ini dalam pembuatan ogoh-ogoh, sehari menjelang hari suci Nyepi.
Menurut Ketua ST Yowana Saka Bhuana Denpasar, Arya Wikasita Kusuma menejelaskan bersama puluhan teman-temannya membutuhkan waktu dua pekan untuk menyelesaikan sebuah "ogoh-ogoh" yang menelan dana hingga Rp25 juta.
Pembuatan sebuah ogoh-ogoh yang menonjolkan unsur seni itu memang membutuhkan biaya mahal, semurah-murahnya paling tidak Rp8 juta, yang diperoleh dari sumbangan secara sukarela dari warga masyarakat sekitarnya.
Ribuan ogoh-ogoh
Pada malam penggrupukan itu hampir seluruh desa adat di Bali, baik di kota maupun pedesaan akan mengarak ogoh-ogoh ke liling desa masing-masing.
Di Kabupaten Karangasem, daerah ujung timur Pulau Bali pada malam pengrupukan itu akan menyuguhkan sedikitnya 529 buah ogoh-ogoh di seluruh desa pekraman.
Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah hingga hari "H", 22 Maret 2012, tutur Kepala Sub-Bagian Humas Polres Karangasem, AKP Made Wartama.
Masalah pengamanan menjadi penekanan pada pawai ogoh-ogoh tersebut, sebagai upaya menghindari terjadinya sentuhan antara pengusung ogoh-ogoh yang satu dengan yang lainnya.
Hal itu mendapat perhatian serius guna menghindari terjadinya bentrok massal sesama warga desa adat. Untuk itu Polres Karangasem menerjunkan 108 personel ditambah kekuatan 393 personel dari polsek di daerah ujung timur Pulau Dewata.
Pengamanan dilakukan secara terpadu, selain petugas kepolisian juga melibatkan 118 petugas TNI, dan sebanyak 1.829 petugas keamanan desa adat (pecalang) dan isntansi terkait lainnya seperti Dinas Perhubungan setempat.
Demikian pula masyarakat, terutama anak-anak muda di kabupaten lain melakukan hal yang sama, sehingga pelaksanaannya semakin semarak dan meriah, di bawah pengamanan secara terpadu mulai dari bendesa adat, kelian banjar dan Pemerintah Kabupaten/kota.
Jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Bali menurut Kepala Bidang Humas Kombes Pol Hariadi juga menitikberatkan pengamanan pawai "ogoh-ogoh" pada malam "pengerupukan".
Fokus pengamanan menjelang Nyepi adalah pada saat pelaksanaan pawai ogoh-ogoh karena berdasarkan pengalaman sebelumnya sering menimbulkan konflik horizontal.
Konflik itu bisa muncul karena persaingan di antara peserta pawai tersebut. Apalagi dalam pawai yang dilombakan yang masing-masing peserta ingin tampil sebagai juara.
Pertikaian itu menurut Hariadi juga bisa timbul karena ada pihak yang tidak menerima hasil keputusan pemenang dari pawai patung raksasa. Oleh sebab itu, mulai saat ini pihaknya berupaya melakukan tindak pencegahan agar pelaksanaan hari raya Nyepi berjalan hikmat dan aman, ujar Kombes Pol Hariadi.
Alihkan ke PKB
Ketua Program Studi Pemandu Wisata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Doktor Drs I Ketut Sumadi M.Par berpendapat, pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh pada malam penggrupukan menjelang Nyepi itu dialihkan pada Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar setiap bulan Juni.
Pawai hasil kreativitas anak-anak muda itu sangat rawan terjadi bentrok antar pengusung ogoh-ogoh yang memicu terjadinya bentrok warga antarbanjar. Pertimbangan pengalihan waktu itu juga didasarkan atas rasa, karena pawai ogoh-ogoh yang dilakukan secara meriah, identik dengan menghibur diri untuk bersenang-senang.
Padahal saat itu umat Hindu mulai bersiap-siap melaksanakan Tapa Brata Penyepian, empat pantangan, salah satunya di antaranya amati lelanguan yakni tidak mengumbar hawa nafsu maupun tidak mengadakan hiburan atau bersenang-senang.
Tiga pantangan lainnya meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan) dan amati lelungan (tidak bepergian).
Pengalihan pawai ogoh-ogoh dari malam penggrupikan Nyepi sekaligus untuk menambah kesemarakan PKB, karena tidak akan mengurangi arti dan makna malam pengrupukan.
"Rangkaian kegiatan ritual untuk tingkat rumah tangga atau desa adat tetap dilaksanakan seperti selama ini, termasuk diantaranya yang disebut 'mebiu-biu' pada waktu sandikala dengan sarana berupa sesajen, api dayuh (daun kelapa kering), air suci dan suara kulkul," tuturnya.
Dengan kegiatan ritual di tingkat rumah tangga yang sederhana seperti itu, seluruh anggota keluarga siap-siap untuk melaksanakan Tapa Brata Penyepian.
Jika pawai ogoh-ogoh selama ini terkesan menonjolkan kesenangan untuk menghibur diri, sehingga kurang pas, karena keesokan harinya melaksanakan empat pantangan dengan mengurung diri dalam rumah, ujar Ketut Sumadi.
Perbedaan itu memang indah, maka pelaksanaan "melasti" di Pulau Dewata tidak harus seragam, tetapi disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, namun maknanya sama yakni menyucikan 'pratima" atau alat-alat yang disakralkan.
Jero Mangku mengatakan upacara "melasti" disesuaikan dengan kesempatan atau tradisi desa yang diatur oleh prajuru (pengurus) desa adat masing-masing.
Umat yang bermukim dekat pantai melakukan prosesi "melasti" ke laut sedangkan di daerah pegunungan melakukan ke danau atau sumber mata air terdekat.
Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah yakni jauh dari laut maupun gunung, mereka melaksanakan prosesi "melasti" ke sumber mata air terdekat, jadi masing-masing desa adat dapat memilih salah satu tempat yang diinginkannya.
Umat Hindu di Bali dalam memperingati pergantian tahun baru Isaka 1933 ke tahun baru Isaka 1934 melakukan serangkaian upacara keagamaan yang diawali dengan "melasti".
Selesai "melasti" dilanjutkan dengan melaksanakan upacara "Tawur Kesanga" pada Kamis (22/3), sehari menjelang Nyepi, dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, dusun, desa adat, kecamatan, kabupaten dan kota hingga tingkat Provinsi Bali. Untuk tingkat provinsi akan dipusatkan di Pura Besakih, Kabupaten Karangasem.
Kegiatan ini bermakna meningkatkan hubungan yang lebih serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan.
Tawur Kesanga yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna menetralkan semua kekuatan sehingga pengaruh negatif "bhutakala" dan positif bersatu sehingga muncul kedamaian pada alam semesta.(*/T007)
Ogoh-Ogoh Kreativitas Seni Yang Mahal
Selasa, 20 Maret 2012 13:14 WIB