Surabaya (ANTARA) - Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga Surabaya Triana Kesuma Dewi yang tergabung dengan sejumlah peneliti dari Indonesia bekerja sama dengan tim internasional telah mengembangkan alat tes COVID-19 dalam jaringan.
"Alat tes ini berbeda dengan alat tes yang sudah ada," ujarnya saat dihubungi di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, tes daring yang banyak tersebar tidak mengeksplorasi alasan mengapa masyarakat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, misalnya tidak menjaga jarak fisik dari orang lain.
Padahal, informasi semacam itu menjadi kunci dalam mendorong perubahan perilaku di masyarakat.
Baca juga: ITS-Unair luncurkan robot "RAISA" layani pasien COVID-19
"Kami membuat alat ini berdasarkan 'Reasoned Action Approach' (Fishbein & AJzen, 2010). Jadi tidak hanya melihat perilaku apa yang muncul dan tidak muncul sehingga meningkatkan risiko penularan, tetapi juga melihat faktor apa yang mempengaruhi perilaku tersebut. Sehingga memungkinkan mengidentifikasi intervensi apa yang relevan untuk meningkatkan perilaku protektif diharapkan," ucapnya.
Pengguna tes, kata dia, akan memperoleh perkiraan risiko sejauh mana dirinya dapat tertular atau menularkan virus corona.
Perkiraan tersebut diukur dari tiga faktor risiko berdasarkan kajian ilmiah, yaitu menjaga kebersihan tangan, menjaga jarak aman di tempat umum, serta perilaku tetap di rumah atau menghindari keramaian.
"Kami ingin melihat perilaku-perilaku tertentu yang menjadi fokus, untuk menghitung risiko apakah mereka memiliki risiko tambahan tinggi untuk menularkan. Risiko tambahan di sini adalah hal-hal yang dapat kita kendalikan dan ubah, bukan penyakit kronis atau bawaan yang diderita," katanya.
Kandidat doktor filsafat (PhD), Maastricht University Belanda tersebut juga mengatakan, alat tes daring itu awalnya digagas oleh Gjalt-Jorn Peters dari Open University dan Sylvia Roozen dari Maastricht University Belanda.
Kemudian, lanjut dia, data hasil tes tersebut akan dipublikasikan pada repositori open access sehingga dapat diakses oleh siapa pun.
Alat yang dikerjakan sejak Maret 2020 tersebut telah ditranslasikan ke dalam 27 bahasa dan diluncurkan di berbagai negara di dunia.
Alat ini pertama kali diluncurkan di Belanda pada 7 Mei 2020, sedangkan di Indonesia masyarakat dapat mencobanya mulai 6 Juni 2020.