Denpasar (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bali meminta masukan tokoh adat, tokoh agama, dan pegiat kepemiluan di daerah itu terkait pengawasan dalam tahapan Pilkada 2020, di tengah kondisi pandemi COVID-19.
"Kita tahu bahwa KPU awalnya menunda beberapa tahapan Pilkada 2020 karena pandemi COVID-19. Bahkan karena begitu mewabahnya COVID-19, pada akhirnya pemerintah, Bawaslu, dan KPU sepakat menunda pelaksanaan pilkada," kata Ketua Bawaslu Bali Ketut Ariyani saat memandu diskusi yang dengan menggunakan aplikasi Zoom, di Denpasar, Jumat.
Tokoh yang diundang "livemeeting" dengan menggunakan aplikasi Zoom tersebut yakni Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali yang juga Ketua FKUB Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Ketua PHDI Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana dan pegiat kepemiluan yang sudah malang melintang di dunia kepemiluan Dr I Made Wena.
Baca juga: Komisi II: tepat, KPU tunda Pilkada 2020
Acara dipandu langsung Ketua Bawaslu Bali Ketut Ariyani. Ikut juga bergabung tiga komisioner Bawaslu Bali masing-masing I Wayan Wirka, I Wayan Widyardana Putra, dan I Ketut Rudia.
Ariyani juga melibatkan jajarannya di kabupaten/kota yang menggelar Pilkada Serentak 2020 masing-masing Bawaslu Kota Denpasar, Bawaslu Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Karangasem, dan Bangli.
Mengawali diskusi, Ariyani memaparkan dalam suasana pandemi COVID-19, jajarannya tetap aktif melakukan pengawasan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran pemilihan.
Baca juga: KPU Bali tunda bentuk PPDP Pilkada
Perkembangan terakhir, pemerintah dan DPR menyepakati coblosan Pilkada 2020 menjadi 9 Desember 2020. Bawaslu Bali sebagai bagian dari penyelenggara kata Ariyani tentu tidak punya pilihan lain selain menyiapkan diri untuk melakukan pengawasan.
"Dalam melakukan pengawasan inilah, kami butuh dukungan dari semua pihak, seperti tokoh agama, juga pegiat kepemiluan guna mendapatkan masukan dalam kerja-kerja pengawasan di tengah-tengah wabah COVID -19 ini," ujarnya.
Berkaitan dengan peran tokoh agama terutama institusi desa adat, pihaknya sangat berharap desa adat di Bali ikut mengambil peran aktif dengan cara turut melakukan pengawasan secara partisipatif.
"Untuk hal inilah, kami meminta kepada Ida Panglingair selaku Benda Agung Desa Adat, ikut memberikan edukasi kepada para kelian desa adat di Bali," pinta Ariyani.
Menyambut harapan Ariyani tersebut, Bendesa Agung Desa Adat Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet dengan tegas mengatakan, pihaknya sejak dulu sudah mengimbau agar para kelian adat tidak menjadi pengurus partai politik.
Hal tersebut, kata Putra Sukahet untuk memastikan sterillisasi desa adat dari kepentingan politik praktis. "Kami sepenuhnya mendukung Bawaslu. Bahkan kalau ada.pelanggaran-pelanggaran, agar ditindak dengan tegas," ujarnya.
Ia menambahkan, dalam kondisi pandemi COVID-19, saat ini desa adat menjadi salah satu garda terdepan dalam pencegahan wabah COVID-19. Tentua saja ada banyak kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan oleh desa adat melalui Satgas Gotong Royong.
"Misalnya menyalurkan bantuan dari donatur, pemerintah atau pihak-lain yang peduli. Hal ini kami juga harapkan agar tidak dibarengi dengan kepentingan-kepentingan politik," ujar Putra Sukahet yang juga Ketua Umum FKUB Bali ini.
Sementara mantan Ketua Panwaslu Bali Dr Made Wena, memgapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Bawaslu Bali, seperti kegitan online tersebut. Dari sisi pelaksanaan dan potensi terjadinya pelanggaran pemilihan jika Pilkada 2020 tetap dilaksanakan Desember 2020, Wena menyoroti kondisi traumatik masyarakat pascawabah COVID-19.
Kondisi traumatik ini, Wena yang juga Dosen Kopertis ini mengatakan akan memudahkan oknum-oknum politik untuk memengaruhi mereka.
"Ambilah contoh sesuai prediksi, wabah COVID -19 selesai akhir Mei 2020. Menurut saya, butuh waktu kurang lebih enam bulan untuk mengurangi traumatik masyarakat pasca COVID-19. Dalam kondisi tersebut, masyarakat disuguhi berbagai tahapan Pilkada 2020. Jika ini dipaksakan, saya melihat potensi pelanggaranya cukup besar, misalnya pelanggaran politik uang dan yang lainya," ujar Wena.
Oleh karena itu, Wena menitip pesan melalui Bawaslu Bali, agar disampaikan ke Bawaslu RI kondisi-kondisi kritis yang bisa mengacam proses demokrasi jika Pilkada 2020 tetap dilaksanakan Desember 2020.
Di sisi lain, Wena masih belum paham, strategi apa yang digunakan oleh Bawaslu dalam melakukan pengawasan pilkada di tengah-tengah wabah COVID-19.
Menyangkut peran desa adat, Wena yang juga Petajuh Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali ini, pihaknya sangat setuju bahwa desa adat harus bersih dari kepentingan-kepentingan politik praktis.
"Tapi harus diakui, eksistensi desa adat ini dari pemilu ke pemilu, selalu menjadi target kepentingan politik praktis guna meraih kekuasaan atau jabatan. Dari dulu memang begitu. Bahkan kalau mau jujur, pesta demokrasi di Bali itu ya adanya di desa adat. Inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa desa adat selalu menjadi target kepentingan politik," ujarnya.
Namun Wena mengingatkan Bawaslu agar melibatkan jajaranya dalam membangun komunikasi dengan desa adat. "Pengawas dari atas sampai bawah harus bersinergi dengan desa adat. Pola-pola komunikasi yang baik ini, akan mampu memudahkan pengawas dalam meminimalisir keterlibatan desa adat dalam praktek politik praktis," ujar Wena.
Sementara itu, Ketua PHDI Bali Prof Dr IGN Sudiana mengatakan dalam kegiatan-kegiatan kampanye, agar tetap menghindari tempat-tempat yang dilarang seperti tempat peribadatan. "Kami akan selalu mendukung Bawaslu dalam mengawal Pilkada 2020," ujarnya.
Ariyani selaku pemandu diskusi udara tersebut juga sempat memberikan kesempatan kepada para ketua Bawaslu Kabupaten/Kota berkaitan dengan sinergitas yang mereka lakukan dengan desa adat.
Ada sejumlah kekhawatiran bahwa dalam situasi pandemi COVID-19, desa adat selain berperan juga berpotensi diperankan oleh oknum tertentu untuk kepentingan politiknya.
Mereka berharap desa adat berperan aktif bersama Bawaslu untuk mengawasi Pilkada 2020 agar berjalan demokratis, bermartabat dan berintegritas.