Denpasar (ANTARA) - Sekretaris Daerah Provinsi Bali yang juga Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Bali Dewa Made Indra mengatakan proses karantina dalam jumlah yang besar bagi pekerja migran Indonesia yang tiba di Pulau Dewata justru dapat menimbulkan efek psikologis yang memengaruhi kesehatan mereka.
"Jadi, kalau mengarantina dalam jumlah yang banyak, maka kita perhatikan efek psikologisnya, belum tentu baik untuk semua, akan terjadi orang-orang yang stres sehingga akan memperburuk psikologisnya. Di saat itu, virus bisa berkembang lebih cepat dibandingkan keadaan orang yang sehat dan pikirannya yang tenang," kata Dewa Indra, di Denpasar, Sabtu.
Dewa Indra menyampaikan hal tersebut menyikapi masukan dari anggota dewan yang mengusulkan agar semua pekerja migran Indonesia yang tiba di Pulau Dewata dikarantina oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19.
"Jangan mengikuti pikiran-pikiran seperti itu (karantina keseluruhan-red) bahwa maksud idenya bagus, saya terima kasih, tetapi jangan lupa kesakitan orang tidak hanya disebabkan karena COVID-19, tetapi juga tekanan psikologisnya yang dia alami saat diisolasi," ucapnya.
Dewa Indra mendapatkan informasi dari beberapa petugas medis di RS yang mengatakan bahwa pasien yang stres ketika di kamar isolasi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh dan kondisi fisiknya menjadi lebih drop dibandingkan yang lain dengan pikiran yang tenang.
Menurut dia, tidak ada satu negarapun di dunia yang mengarantina semua warga negaranya yang datang dari luar negeri, karena akan membuang-buang sumber daya dan memang secara teknis sulit dilakukan.
"Para ABK di kapal pesiar, sesungguhnya sebelum pulang sudah melakukan proses karantina. Setelah itu, mereka juga mengikuti pemeriksaan dan rapid test. Yang dinyatakan negatif boleh pulang, sedangkan yang indikasi positif masih ditahan di sana (di luar negeri) untuk dilakukan perawatan," ujarnya.
Dewa Indra menambahkan, bahwa ABK ataupun pekerja migran Indonesia yang kembali ke Tanah Air adalah yang pada saat itu dinyatakan tidak ada kendala kesehatan.
"Tetapi kan kita semua tahu bahwa COVID-19 memiliki masa inkubasi 5-6 hari dan karena itu mereka diminta menjaga diri selama 14 hari, sedangkan proses kepulangan, misalnya dari Amerika, Brasil, kan jauh-jauh membutuhkan waktu sampai di sini," katanya.
Jadi, ujar Dewa Indra, meskipun di negara tempat mereka bekerja sudah dinyatakan negatif, tetapi untuk pulang ke Bali dibutuhkan waktu sekian kali 24 jam ditambah lagi pesawat itu transit, sehingga setiba di Bali kembali dilakukan rapid test.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali, sejak 22 Maret sudah langsung me-rapid test para pekerja migran Indonesia yang tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai, baik yang tiba melalui pintu kedatangan internasional maupun domestik.
Dia menambahkan, yang hasil rapid test-nya negatif, ketentuannya harus melanjutkan karantina mandiri di rumah masing-masing.
"Kalau mereka pulang ke rumah, di bawah pengawasan kabupaten kan karantina juga, jadi karantina tidak hanya yang dilakukan di provinsi saja," ucap birokrat asal Pemaron, Kabupaten Buleleng, itu.
Berdasarkan data Kesatuan Pelaut Indonesia, kata Dewa Indra, jumlah warga Bali yang menjadi ABK di kapal pesiar itu 22.000-an. "Kalau itu dikarantina, sebegitu banyak yang dikarantina oleh pemerintah," ucapnya.
Dewa Indra mencatat jumlah pekerja migran Indonesia yang sudah pulang ke Bali dari 22 Maret-10 April sebanyak 7.621 orang dan itu semua sudah di-rapid test.
"Ini sebagian besar sudah pulang ke rumah, hanya yang positif COVID-19 yang tertahan untuk mendapatkan perawatan, bahkan yang positif sudah ada yang sembuh," ujarnya.
Sekda Bali: Karantina yang banyak timbulkan efek psikologis
Minggu, 12 April 2020 6:59 WIB