Denpasar (ANTARA) - Ibarat buku cerita kumpulan lelucon, "Mati Ketawa ala Rusia", agaknya cara yang mirip dilakukan masyarakat Indonesia dalam menyikapi penularan virus corona baru (COVID-19) yang semakin meluas, yakni dengan "chat" lucu lewat media sosial.
Padahal masyarakat dunia sudah sangat panik, sehingga terkesan hal tersebut meremehkan virus itu.
Misalnya, "chat" yang menyebutkan "Banyak acara di Bali yang cancel, maka Bali Lockdown (isolasi) akan dimulai pada tanggal 25 Maret 2020 jam 06.00, karena penerbangan disetop, listrik dimatikan, internet juga dimatikan" yang akhirnya meramaikan jagat maya.
Bahkan, tidak sedikit praktisi media asing dan dalam negeri yang hampir saja tertipu. Tidak hanya itu, corona pun dipelesetkan sebagai nama perempuan anggota TNI/Polri, atau debat kusir virus mematikan itu yang dikait-kaitkan dengan "gosip" SARA khas Indonesia.
Banyak lagi "chat" yang terkesan "menertawakan" keadaan yang di negara lain justru sangat serius itu, kendati Bali memang akan benar-benar mengalami "lockdown (karantina/isolasi wilayah)" pada tanggal itu, karena perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1942.
Akhirnya, Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra pun "meluruskan" bahwa penutupan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, semua toko, dan penghentian segala aktivitas masyarakat, serta mematikan listrik dan internet di "Pulau Dewata" pada 25 Maret itu sama sekali tidak terkait dengan merebaknya COVID-19.
"Tidak ada itu, Pemprov Bali belum memutuskan seperti itu. Baru saja, Satgas Penanggulangan COVID-19 mengadakan rapat untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya yang akan diambil terkait penanganan dan pencegahan virus corona," katanya di Denpasar, Sabtu (14/3).
Dewa Indra tidak menampik pada 25 Maret 2020 akan ada penutupan bandara dan semua aktivitas masyarakat Bali.
"Itu kan dalam kaitan dengan Hari Nyepi. Seharian masyarakat Bali tidak melaksanakan aktivitas, penerbangan tutup, toko tutup, masyarakat pun tidak bepergian dan bekerja. Siaran TV, radio sampai internet pun tidak aktif," ujarnya.
Baca juga: Nyepi, Gubernur Bali larang arak-arakan ogoh-ogoh
Menurut Dewa Indra, bisa jadi isu itu berkembang awalnya hanya bercanda antarteman di WhatsApp Grup. Masyarakat Bali beragama Hindu tentu bisa menangkap maksudnya dalam kaitan Nyepi, namun tentu akan diartikan lain oleh orang non-Hindu, terlebih dikaitkan dengan situasi saat ini di tengah merebaknya COVID-19.
"Sebaiknya hal-hal seperti ini jangan dimanfaatkan sebagai bahan bercanda. Bisa membuat masyarakat jadi tambah panik di tengah persoalan merebaknya virus corona," pinta dia.
Namun, Provinsi Bali telah melaksanakan rapat koordinasi terkait dengan upaya penanggulangan penyakit yang merujuk lima hal yang ditetapkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yaitu protokol komunikasi, area pendidikan, area publik, transportasi khususnya pintu masuk Indonesia, dan protokol kesehatan.
Kendati tidak "lockdown", Pulau Bali sebagai kawasan pariwisata tampak lengang sejak pemerintah provinsi setempat menerapkan "social distancing" (jaga jarak dari aktivitas sosial) untuk mencegah penyebaran COVID-19 pada 16 hingga 31 Maret 2020 (dua minggu).
Namun, aktivitas masyarakat "Pulau Dewata" tetap terlihat "hidup" seperti biasanya.
"Kawasan ini biasanya macet, bahkan kendaraan hanya berjalan satu meter, berhenti, lalu jalan lagi, dan berhenti lagi, saking macetnya, tapi sekarang hanya ada 2-3 kendaraan yang melintas, jadi longgar," kata Indra, warga yang melintasi Jln. Imam Bonjol Denpasar, Kamis (19/3).
Tidak hanya itu, ia mengaku saat berbelanja di pusat oleh-oleh di kawasan Kuta, Kabupaten Badung pun tidak terlalu padat pengunjungnya.
"Masuk area pusat oleh-oleh sini biasanya antre dan di dalam juga berjubel, tapi sekarang tidak banyak pembelinya," katanya.
Meski tidak seramai biasanya, aktivitas masyarakat Bali agaknya masih tetap "hidup", seperti di pasar swalayan, tempat ibadah/pura, maupun di jalanan, bahkan di kawasan Denpasar masih tergolong ramai, meski perkantoran tidak terlalu banyak pegawai masuk dan sekolah pun libur.
"Memang tidak ramai, tapi pembeli masih ada. Mungkin karena kebutuhan primer memang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, jadi kasihan masyarakat kalau toko kami tutup," kata pegawai salah satu pasar swalayan di kawasan Ubung, Firda.
Baca juga: Sekda Bali imbau masyarakat batasi aktivitas di luar rumah
Sementara itu, tempat ibadah, seperti pura dan mushalla dan masjid di Kota Denpasar juga masih terlihat kegiatan seperti biasanya, bahkan mushalla di dekat Lapangan Lumintang (Gatsu VI) masih didatangi puluhan warga yang beribadah, atau juga pertemuan pengurus mushalla itu.
Selain warga lokal, para pendatang dari luar Bali pun masih terlihat, seperti di beberapa tempat wisata dan pusat oleh-oleh, meski kini banyak didominasi wisatawan Nusantara, meski informasi tentang virus itu cukup "gawat" di media sosial.
"Jangan takut ke Bali. Siswa SMP 8 Kota Pasuruan sudah melakukan rekreasi ke Bali. Alhamdulillah, mereka pulang selamat dan dinyatakan tidak terinfeksi atau negatif corona," ujar seorang guru dari Pasuruan, Musa.
"Lockdown" sesungguhnya
Faktanya, "Pulau Dewata" sebutan untuk Bali selalu melakukan "lockdown" setiap tahun dan "lockdown" yang sesungguhnya bagi pulau yang dikenal sebagai "secuil surga di dunia" itu adalah "Nyepi" untuk memperingati datangnya Tahun Baru Saka.
Dalam agama Hindu, Nyepi merupakan waktu yang disiapkan Tuhan untuk manusia melakukan kontemplasi diri, merenungkan apa yang diperbuat, yang baik dan yang buruk, sekaligus diberi kesempatan untuk merencanakan masa depan untuk memasuki tahun baru.
Nyepi juga bukan sekadar tidak menyalakan api (listrik, internet, dan keluar rumah), namun ajaran yang mengingatkan umat Hindu agar tidak menyalakan hawa nafsu, marah, benci, dan dendam. Konteks Nyepi adalah pengendalian diri dan memperbanyak kebaikan.
Ya, pengendalian diri dan memperbanyak perbuatan kebaikan itulah "lokcdown" sesungguhnya, karena itu pelaksanaan Nyepi dalam situasi "social distancing" yang diberlakukan pemerintah dalam menyikapi COVID-19 saat ini juga menuntut pengendalian diri dari semua pihak untuk kebaikan bersama.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Bali, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Desa Adat (MDA) pun membuat kesepakatan yang tertuang dalam surat edaran bersama untuk mengimbau agar pawai ogoh-ogoh pada Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 sebaiknya tidak dilaksanakan.
"Pengarakan (pawai) ogoh-ogoh bukan merupakan rangkaian Hari Suci Nyepi sehingga tidak wajib dilaksanakan. Oleh karena itu pengarakan ogoh-ogoh sebaiknya tidak dilaksanakan," kata Ketua PHDI Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, dalam konferensi pers di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Denpasar, Selasa (17/3).
Baca juga: Badung tutup sementara seluruh objek wisata
Ia mengatakan apabila pengarakan tetap dilaksanakan maka pelaksanaannya agar mengikuti aturan yaitu waktu pengarakan ogoh-ogoh dilakukan pada 24 Maret 2020, pukul 17.00 sampai 19.00 Wita.
Selanjutnya, tempat pelaksanaan hanya di Wewidangan atau wilayah banjar adat setempat dan sebagai penanggung jawab adalah bendesa adat dan prajuru banjar adat setempat agar berjalan dengan tertib dan disiplin.
Dalam rangkaian Upacara Melasti, Tawur, Pengrupukan yang disertai dengan pengarakan ogoh-ogoh agar dilaksanakan dengan memperhatikan imbauan, di antaranya membatasi jumlah peserta yang ikut dalam prosesi dan untuk para pemangku agar menggunakan "panyiratan" yang sudah bersih untuk "nyiratang tirta" kepada masyarakat.
Selain itu, diimbau tidak mengganggu ketertiban umum, tidak mabuk-mabukan, dan untuk menghindari berbagai potensi penyebaran penyakit, termasuk virus corona, semua panitia dan peserta agar mengikuti prosedur tetap dari instansi yang berwenang.
"Peserta dibatasi dan tidak ada pengunjung, di tempat asal lagi, berarti hanya ada orang lokal saja," kata Gubernur Bali, Wayan Koster.
Agaknya, kesepakatan pemerintah daerah dan tokoh agama untuk penyelenggaraan Nyepi yang disesuaikan dengan kondisi "social distancing" itu dapat dipahami dalam konteks Nyepi, yakni pengendalian diri dan memperbanyak kebaikan bersama.
Apalagi, Bali merupakan kawasan wisata yang tentunya Nyepi untuk kebaikan bersama menjadi hal yang mendesak, karena sikap atau langkah-langkah yang tidak antisipatif terhadap situasi wabah yang kurang bersahabat justru akan merusak semuanya.
Agaknya, "lockdown" dalam konteks pengendalian diri sudah dilakukan Pemprov Bali bersama jajarannya, baik melalui sosialisasi pola hidup bersih dan sehat (PHBS) maupun "pengawasan" di bandara dan hotel atau instruksi penutupan tempat wisata.
Baca juga: Ahli: sanitasi yang baik cegah COVID-19
Misalnya, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali mencatat 117 warga asing yang ditolak masuk Bali terhitung sejak 5 Februari sampai 17 Maret 2020 sesuai Permenkumham Nomor 7/2020.
"Penolakan ini dilakukan karena memiliki riwayat perjalanan ke negara terpapar COVID-19 dengan jumlah tertinggi dari Rusia, Amerika, dan Ukraina," kata Kakanwil Kemenkumham Bali, Sutrisno, di Denpasar, Kamis (19/3).
Tentu, "pengawasan" pun perlu dilakukan para petugas surveilans kesehatan di "Pulau Dewata" dengan lebih aktif memantau kondisi hotel-hotel dan tempat-tempat wisatawan menginap, sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran COVID-19, karena saat ini belum ada pembatasan wisatawan mancanegara untuk datang ke Bali.
Bahkan, Pemerintah Kabupaten Badung juga melakukan "pengendalian diri" yang tergolong berani, yakni instruksi penutupan sementara seluruh objek wisata di wilayahnya mulai 21 sampai 31 Maret 2020 guna meminimalkan risiko penularan COVID-19.
"Itu terkait seruan Gubernur Bali untuk menutup tempat wisata," kata Wakil Bupati Badung I Ketut Suiasa di Jimbaran, Kabupaten Badung, Sabtu (21/3).
Ya, Nyepi dalam situasi pandemi COVID-19 agaknya tidak hanya bersifat ritual, namun juga perlu diwujudkan dalam bentuk pengendalian diri secara profesional dalam mengantisipasi virus yang mewabah itu dengan pengendalian diri untuk hidup lebih bersih dan sehat, serta pengendalian diri untuk ekstra ketat dari "pintu masuk" pariwisata di Bali.