Denpasar (ANTARA) - Direktorat Kriminal Umum Polda Bali meringkus tiga tersangka perdagangan orang atau eksploitasi anak berinisial GP (44) sebagai pemilik kafe, IY (22) sebagai pengelola Cafe dan PR (28) perekrut tenaga kerja di kafe itu, yang beroperasi dengan cara menggunakan media sosial.
"Dalam kasus ini tersangka PR menggunakan modus untuk merekrut, mengangkut, memindahkan, serta menampung korban yang masih berusia 15 tahun dengan cara menjanjikan kerja sebagai pelayan, menemani tamu ngobrol di Bali dengan gaji Rp2-4 juta perbulan," kata Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum, AKBP Suratno, dalam konferensi pers, di Denpasar, Selasa.
Suratno menjelaskan jam kerja korban yaitu mulai dari pukul 19.00 Wita sampai dengan 02.00 WITA di suatu kafe di daerah Penebel, Tabanan. Suratno mengatakan kafe itu belum memiliki izin untuk beroperasi, namun sudah memperkerjakan 11 pekerja dan satu di antaranya anak di bawah umur.
Kata dia, hal itu melanggar UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa anak diperbolehkan bekerja pada usia 13-15 tahun dengan waktu kerja maksimum tiga jam pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
Ia menjelaskan kasus bermula pada 28 Desember 2019, korban berinisial EN direkrut dan diterima tersangka PR dari hasil postingan pada Grup Info Lowongan Kerja Terbaru Sukabumi, Jawa Barat.
Dalam grup lowongan kerja tersebut berbunyi: Yang minat kerja Cafe, merantau, chat me. Kemudian korban yang merasa tertarik langsung mengirimkan pesan melalui messenger untuk menanyakan persyaratan dan cara kerjanya.
Menjawab pernyataan korban, tersangka PR meminta KTP korban namun karena korban tidak mempunyai KTP, maka tersangka meminta kartu keluarga milik korban.
Baca juga: Polda NTB ungkap kasus perdagangan orang ke Arab Saudi
"Saat itu korban dijanjikan oleh tersangka kalau pekerjaan ini mudah yaitu tinggal menemani tamu mengobrol dan karaoke bisa dapat gaji sebesar Rp2 juta sampai Rp4 juta perbulannya, juga tiket pesawat beserta tempat tinggal ditanggung," katanya.
Korban mulai kerja pada 30 Desember 2019 pukul 19.00 Wita sampai 02.00 Wita dan korban diminta berpakaian seksi oleh IY dan melayani tamu minum minuman beralkohol di tempat yang gelap.
"Korban kemudian diberikan kontrak kerja selama enam bulan oleh tersangka IY, kalau berhenti sebelum kontrak habis maka korban harus ganti rugi. Surat kontrak itu ditanda tangani korban tanpa sempat membaca isi kontraknya seperti apa," jelasnya.
Baca juga: Kawin kontrak jadi pola baru perdagangan orang di Indonesia
Ia mengatakan korban juga diberikan surat pernyataan dan diminta menulis ulang isi surat pernyataan tersebut. Dalam surat berbunyi: Saya menyatakan bahwa saya bekerja dengan kemauan sendiri dan tanpa paksaan dari orang lain, saya bekerja untuk mencari nafkah untuk kedua orang tua saya.
Ia menambahkan bahwa ibu korban yang sedang bekerja di luar negeri menghubungi korban dan meminta korban pulang dan tidak mengijinkan dia bekerja di kafe itu.
Namun, karena sudah menandatangani kontrak, korban tidak bisa pulang dan harus membayar sebesar Rp10 juta. Namun kakak ipar korban tidak bisa membayar Rp10 juta itu, dan langsung melaporkan ke polisi.
Berdasarkan laporan itu para tersangka ditangkap pada 16 Januari 2020 dengan barang bukti berupa 202 nota penjualan bir oleh para waitress selama bulan Desember 2019, uang hasil penjualan sejak 12-15 Januari 2020 sebesar Rp5,3 juta, dan beberapa buku catatan, empat alat kontrasepsi, dan dua HP.
Atas perbuatanya, para tersangka dijerat dengan pasal 2 UU Nomor 21/ 2007 tentang Tindak Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, atau Pasal 761 jo Pasal 88 UU Nomor 35/2014 perubahan atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.