Denpasar (ANTARA) - Gubernur Bali Wayan Koster meminta PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III segera menghentikan reklamasi di areal seluas 85 hektare di sekeliling Pelabuhan Benoa, Denpasar, karena telah menghancurkan ekosistem bakau seluas 17 hektare dan memicu terjadinya sejumlah pelanggaran.
"Dampak lingkungan yang terjadi berupa rusaknya lingkungan yang sangat parah dan mengakibatkan kematian vegetasi hutan mangrove beserta ekosistem lainnya sekitar 17 hektare berlokasi di timur laut lokasi Dumping II. Kondisi tersebut terjadi karena ada pelanggaran pengerjaan teknis yaitu tidak dibangunnya tanggul penahan (revetment) dan tidak dipasangnya silt screen sesuai dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan pada dokumen Amdal," katanya kepada pers di Denpasar, Bali, Minggu.
Koster telah menyampaikan permintaan penghentian reklamasi tersebut dalam surat resminya tertanggal 22 Agustus 2019 kepada Direktur Utama Pelindo III yang juga ditembuskan kepada Menteri BUMN, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perhubungan, serta Menteri Agraria dan Penataan Ruang.
Pelanggaran-pelanggaran serta kerusakan vegetasi mangrove ini ditemukan oleh tim monitoring dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali. Sejak Februari 2019, tim monitoriing sudah melakukan empat kali kunjungan lapangan dan menemukan sejumlah pelanggaran serta kerusakan lingkungan.
"Selain itu, kegiatan pengembangan yang semakin meluas mengakibatkan terganggunya wilayah yang disucikan dan hilangnya keindahan alam di kawasan perairan Teluk Benoa, sehingga telah mendapat protes dan reaksi dari berbagai komponen masyarakat," ucapnya.
Berdasarkan dokumen yang ada, reklamasi yang dilakukan oleh Pelindo III terhadap lahan seluas 85 hektare yang terdiri atas lokasi Dumping I seluas 38 hektare dan lokasi Dumping II seluas 47 hektare telah dilakukan melalui proses administrasi mulai tahun 2012, kegiatan pelaksanaan pengembangan mulai tahun 2017, dan pada saat ini sedang berjalan dengan capaian 88,81 persen.
Secara garis besar isi surat Gubernur Bali yang ditujukan pada Pelindo III tersebut, yakni pada butir (a) agar Pelindo III tidak melanjutkan kegiatan reklamasi dan pengembangan di areal Dumping I dan Dumping II sejak surat itu diterima.
Selanjutnya pada butir (b) Pelindo III diminta untuk segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem mangrove. Pada butir (c) Gubernur Koster meminta agar Pelindo III segera melakukan penataan areal Dumping I dan Dumping II sehingga areal tersebut tertata dengan baik.
Gubernur Koster menegaskan bahwa sesudah ditata areal tersebut hanya boleh digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). "Jadi dilarang keras membangun fasilitas komersial di atas lahan hasil pengurukan," ujar mantan anggota DPR RI itu.
Sedangkan pada butir terakhir (d) Gubernur Koster meminta Pelindo III untuk melakukan kaji ulang terhadap Rencana Induk Pengembangan (RIP) Pelabuhan Benoa agar memperhatikan tatanan yang sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Baca juga: Mantan Ketua Kadin Bali diadili
Koster menegaskan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa yang sedianya dimanfaatkan sebagai Marine Tourism Hub di Kota Denpasar tidak sesuai dengan visi Pembangunan Daerah Bali "Nangun Sat Kerthi Loka Bali".
"Perlu dipahami bahwa segala dampak akibat pelaksanaan pembangunan di wilayah Provinsi Bali yang mengganggu keseimbangan dan kesucian alam, krama (manusia), dan kebudayaan Bali pada akhirnya merupakan tanggung jawab Pemprov Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali," ujarnya.
Apalagi sejalan dengan visi tersebut, DPRD Provinsi Bali telah mengesahkan Revisi Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang telah menegaskan bahwa Teluk Benoa adalah merupakan kawasan konservasi.
"Langkah ini sekaligus antisipasi bagi generasi mendatang, jangan sampai saya sebagai Gubernur malah mewariskan hal yang keliru," kata Gubernur asal Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng itu.
Baca juga: Pasek dukung Koster surati Presiden soal reklamasi
Gubernur Bali minta Pelindo III hentikan reklamasi Benoa
Minggu, 25 Agustus 2019 14:43 WIB
Perlu dipahami bahwa segala dampak akibat pelaksanaan pembangunan di wilayah Provinsi Bali yang mengganggu keseimbangan dan kesucian alam, krama (manusia), dan kebudayaan Bali pada akhirnya jadi tanggung jawab Pemprov dan Pemkab/Kota se-Bali