Denpasar (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana menyatakan salah satu tujuan pembangunan Bale Kertha Adhyaksa di semua kabupaten di provinsi tersebut untuk mengurangi beban negara dan masyarakat dalam menangani perkara.
"Sangat signifikan terutama mengurangi beban negara dan masyarakat dalam hal pembiayaan penanganan perkara, tidak menimbulkan resistensi di masyarakat dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat adat," kata Sumedana saat penandatanganan komitmen bersama pelaksanaan Bale Kertha Adhyaksa bersama Gubernur Bali, Forkopimda, tokoh masyarakat dan tokoh agama, di Kantor Kejati Bali, Denpasar, Senin.
Dia menyatakan komitmen bersama sebagai implementasi Bale Kertha Adhyaksa yang tujuan utamanya adalah penguatan secara kelembagaan desa adat sehingga dapat mengimplementasikan Kertha Desa yang selama ini bagian dari lembaga adat di Bali, yakni melakukan penegakan hukum dengan mengedepankan musyawarah mufakat dengan kearifan lokal.
"Dengan demikian, permasalahan bisa diselesaikan di desa dan pengadilan dipandang sebagai pintu terakhir dalam mencari keadilan," ujarnya.
Menurut dia, dengan terbentuknya Bale Kertha Adhyaksa maka akan ada kolaborasi antara hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan hukum positif (hukum nasional).
Bale Kertha Adhyaksa yang saat ini dilaksanakan komitmen bersama adalah rangkaian panjang roadshow Kejati Bali dengan Gubernur Bali Wayan Koster mulai dari Kabupaten Bangli pada Senin 17 Maret 2025 berakhir di Kota Denpasar pada hari Jumat, 12 Juni 2026.
Dalam pelaksanaan di berbagai daerah, Kejati Bali mengumpulkan segenap jajaran pemerintah daerah, bendesa adat, dan berbagai tokoh masyarakat.
Bale Kertha Adhyaksa sudah terbentuk di sembilan kabupaten/kota di Bali, terdiri dari 636 desa, 80 kelurahan dan 1.500 desa adat, yang hampir semuanya didampingi oleh Gubernur Bali.
Kajati Bali menegaskan keberadaan Bale Kertha Adhyaksa merupakan bagian dari penguatan lembaga adat di Bali.
"Tugas Kejaksaan hanya sebagai fasilitator dan advisor di lembaga tersebut yang tujuannya untuk menekan perkara sampai masuk ke ranah hukum, sehingga pengadilan adalah ultimum remidium atau jalan akhir untuk memperoleh keadilan," katanya.
Nantinya, kata Sumedana, semua permasalahan atau konflik yang ada di desa diselesaikan dengan konsep musyawarah mufakat, guyub dan mengedepankan kearifan lokal, sehingga negara dan masyarakat tidak mengeluarkan biaya untuk berperkara serta masyarakat tidak terjadi resistensi atau konflik berkelanjutan.
Sementara itu Plt. Wakil Jaksa Agung Prof. Asep Nana Mulyana dalam sambutannya secara daring menyampaikan keberadaan Bale Kertha Adhyaksa sangat strategis sebagai tempat penyelesaian segala konflik dan permasalahan yang ada di desa adat.
Dia mengatakan seiring dengan pemberlakuan KUHP di awal tahun 2026, Bali sebagai barometer dan role model di Indonesia dalam penyelesaian konflik dengan menggunakan kearifan lokal yang diakui secara konstitusi dan undang-undang
"Ini adalah wujudnya dukungan penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan RI khususnya Kejaksaan Tinggi Bali dalam merevitalisasi hukum adat untuk dielaborasi dengan hukum nasional," katanya.