Denpasar (ANTARA) - Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali di wilayah Desa Adat Tuban, Badung, Bali, melakukan patroli berkeliling wilayah setempat saat malam Hari Raya Nyepi tahun Saka 1941.
"Patroli malam ini dilakukan untuk menjamin keamanan dan kelancaran umat Hindu yang saat ini sedang menjalankan brata penyepian," ujar Bendesa Adat Tuban, I Wayan Mendra, di Badung, Kamis (7/3) malam.
Ia menjelaskan patroli malam sejak Kamis (7/3) malam hingga Jumat (8/3) dini hari tersebut dilakukan khususnya untuk memastikan kondisi lampu penerangan rumah warga, termasuk penerangan kamar-kamar hotel yang dihuni wisatawan telah dipadamkan.
"Hal itu berkaitan dengan salah satu catur Brata penyepian yaitu, 'amati geni' atau tidak menyalakan api termasuk menyalakan lampu selama Hari Raya Nyepi," katanya.
Selain itu, patroli dilakukan untuk menjaga keamanan dan mengantisipasi berbagai kemungkinan tindak kriminalitas yang dapat terjadi saat Hari Raya Nyepi.
"Jadi, kami juga mengantisipasi tindak kriminalitas seperti kalau ada penyusup yang masuk ke wilayah desa kami dengan niat melakukan perbuatan kriminal," katanya.
Saat melakukan patroli di malam Nyepi itu, Pecalang setempat juga melakukan penjagaan terhadap sejumlah umat Muslim yang melakukan ibadah Shalat Isya berjamaah di Masjid Agung Asasuttaqwa.
"Kami memberikan toleransi kepada umat Islam, termasuk umat beragama lain yang melakukan kegiatan peribadatan saat berlangsungnya Hari Raya Nyepi, baik siang maupun malam," kata Wayan Mendra.
Ia menjelaskan, saat Hari Raya Nyepi, Muslim di wilayah itu diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah dengan kondisi penerangan yang minim serta tidak menggunakan pengeras suara.
"Mereka juga tidak diperkenankan menggunakan kendaraan bermotor. Oleh karena itu biasanya yang beribadah hanya warga yang tempat tinggalnya berada di dekat kawasan masjid," ujarnya.
Haji Hanafi, seorang warga yang menjalankan ibadah di masjid tersebut mengatakan, setiap Hari Raya Nyepi pihak desa selalu memberikan toleransi bagi umat Muslim yang akan melakukan kegiatan peribadatan seperti salat berjamaah di masjid
"Alhamdulillah ibadah bisa lancar dan tidak terganggu, kami juga tetap saling menghargai dan menghormati umat Hindu saat Hari Raya Nyepi dengan tidak menggunakan pengeras suara serta lampu penerangan yang minim," katanya.
Catur Brata Penyepian
Umat Hindu di wilayah Pulau Bali, memulai menjalani Catur Brata penyepian, saat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1941, pada Kamis mulai pukul 06.00 Wita.
Pewarta Antara di wilayah Desa Adat Tuban, Kabupaten Badung, melaporkan sejak sekitar Kamis dini hari, jalanan di kawasan tersebut sudah mulai berangsur lengang dan tepat pada Kamis pukul 06.00 Wita, sudah tidak terlihat adanya aktivitas masyarakat.
Catur Brata penyepian yang dijalani umat Hindu saat Hari Raya Nyepi itu berlangsung selama 24 jam, atau hingga Jumat (8/3) pukul 06.00 Wita.
Dalam menjalani Catur Brata penyepian, ada empat pantangan Umat Hindu yaitu, Amati Karya (tidak bekerja), Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang).
Sejak pagi hari, puluhan Pecalang atau petugas keamanan adat Bali di kawasan Desa Adat Tuban, juga tampak mulai berpatroli dan bersiaga di sejumlah titik pos penjagaan yang tersebar untuk memastikan tidak ada warga yang melakukan aktivitas di luar rumah.
Pengamanan itu juga dilakukan Pecalang di sejumlah persimpangan jalan untuk memastikan pelaksanaan Nyepi tetap tenang dan hening.
Meskipun wilayah tersebut terpantau diguyur hujan pada Kamis siang, namun hak tersebut tidak membuat para Pecalang berhenti melakukan penjagaan.
Kondisi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang juga masuk kawasan Desa Adat Tuban juga tampak sepi, tanpa aktivitas penerbangan, karena pengelola Bandara Ngurah Rai juga menghentikan operasionalnya selama 24 jam.
"Penghentian sementara operasional bandara dilakukan untuk menghormati umat Hindu di Bali agar dapat menjalankan ibadah Brata Penyepian dengan khusyuk," ujar Communication and Legal Section Head Bandara Ngurah Rai, Arie Ahsanurrohim, beberapa waktu yang lalu.
Selama 24 jam penghentian operasional bandara, tercatat sedikitnya 468 penerbangan yang tidak beroperasi. Penerbangan tersebut terdiri dari 261 penerbangan penerbangan rute domestik dan 207 penerbangan rute internasional.
Hal yang sama juga dilakukan Pertamina yang menjamin penyaluran BBM dan Elpiji di Wilayah Bali tetap berjalan lancar dan optimal pada Hari Raya Nyepi atau pada Kamis 7 Maret 2019 dengan realisasi seluruh produk BBM dan BBK mencapai angka 2.785 KL yang terpantau pada Selasa (5/3).
"Angka ini mengalami peningkatan sebesar 7 persen dari rata-rata konsumsi harian normal yang berada pada kisaran 2.600 KL.
SPBU akan tetap beroperasi sampai dengan Rabu, 6 Maret 2019, pukul 22.00 Wita dan baru kembali beroperasi pada Jumat tgl 8 Maret 2019 pukul 07.00 Wita," kata Unit Manager Communication & CSR MOR V - Jatim Bali Nusra, Rustam Aji.
Hujan dan wisatawan
Hari Raya Nyepi Tahun 1941 yang berlangsung penuh toleransi itu juga ditandai dengan hujan yang mengguyur, bahkan hujan lebat sudah terjadi sejak H-1 atau Rabu (6/3) siang hingga sore hari, namun para turis asing dan domestik terlihat bersemangat menyaksikan parade ogoh-ogoh di Ubud, Kabupaten Gianyar pada H-1 Nyepi itu.
"Para turis mulai berdatangan sejak pukul 16.00 Wita. Dengan menggunakan jas hujan, mereka berdatangan dan berdiri di pedestrian di jalan Ubud Raya dan jalan Monkey Forest," kata salah seorang polisi yang mengamankan arak-arakan ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh adalah simbol dari setan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk rupa yang menyeramkan, kemudian diarak-arak keliling oleh masyarakat Hindu Bali dan akhirnya dibakar sebagai simbol terusirnya kejahatan.
"Ogoh-ogoh ini bagian dari kegiatan ritual hari raya Nyepi yang jatuh Kamis, 7 Maret 2019," kata Kepala Dinas Pariwisata Gianyar Anak Agung Ari Brahmanta.
Para turis ada yang berjalan dari berbagai hotel dan penginapan. Banyak juga yang mengendarai sepeda motor.
Sejak sore, jalan-jalan utama di Ubud lengang. Hanya motor yang boleh lewat karena dikosongkan untuk kelancaran arak-arakan masyarakat menggotong ogoh-ogoh. Baik pemuda, remaja, bahkan anak-anak berpartisipasi menggotong ogoh-ogoh.
Richard, seorang warga Amerika, bersama istri dan anaknya menyaksikan ogoh-ogoh. Ia menonton arak-arakan ogoh-ogoh sambil menyeruput kopi dan teh di sebuah kafe di Ubud.
"Sangat kreatif pembuatan ogoh-ogoh. Ada ogoh-ogoh bercampur tubuh manusia dengan Babi, ada yang perpaduan antara manusia dengan gajah, dan ada juga perpaduan antara manusia dengan ikan hiu. Sangat menarik dan membuat anak-anak saya senang," katanya.
Turis asal Denmark, Christin bersama teman-temannya tampak sibuk mengambil foto dan berfoto dengan latar belakang ogoh-ogoh. "Kami datang ke Bali memang mau melihat kegiatan ritual yang dilakukan setahun sekali ini. Jadi walau hujan, kami tetap keluar dan berjalan menyaksikan acara ini," katanya.
Karena hujan, ogoh-ogoh di Ubud yang biasanya berkumpul di lapangan sepak bola Ubud, tapi karena becek akhirnya ogoh-ogoh diparkir di tengah jalan. Ada yang di jalan Ubud Raya dan jalan Monkey Forest.
Pada hari yang sama (6/3), umat Hindu di Bali juga menyelenggarakan upacara ritual "Pancawali Krama" yang dipusatkan di Pura Agung Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem bertepatan dengan "Tilem Kesanga" tahun 2019. Ritual "Pancawali Krama" merupakan upacara yang diselenggarakan setiap 10 tahun sekali yang dipimpin sedikitnya 10 rohaniawan Hindu. Upacara keagamaan yang tergolong unik itu juga disaksikan wisatawan.
"Pada Upacara 'Pancawali Krama' ini, berbagai sesaji dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), termasuk juga melakukan 'Yadnya' atau korban suci berupa hewan, seperti itik, ayam, babi, kambing dan lainnya.
Ritual Pancawali Krama ini merupakan bagian dari upacara ritual terbesar, yakni 'Eka Dasa Ludra' yang digelar setiap 100 tahun. Upacara terbesar itu terakhir dilakukan pada tahun 1979," ujar Ketua PHDI Bali Ngurah Sudiana.
Dalam ritual "Pancawali Krama" yang juga dipentaskan kesenian Bali yang disakralkan (tari wali), antara lain Topeng Sidakarya, Baris Gede, Rejang Dewa, Rejang Giri Kusuma, Rejang Renteng, dan juga wayang kulit itu dilakukan sehari menjelang Nyepi (H-1) guna menetralkan alam agar harmonis, baik itu alam pada diri sendiri (buana alit), maupun alam semesta (buana agung). (KR-NFY*A029*I020) (ed)