Denpasar (Antaranews Bali) - Ada satu catatan yang sama dalam pidato Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dari tahun ke tahun yakni perhatiannya pada persaingan antara media arus utama (konvensional) dengan media sosial.
Saat HPN ke-72 di kota Ambon Provinsi Maluku (9/2/2017), Presiden Jokowi menyebutkan bahwa banyak kepala negara di dunia yang "pusing" dengan maraknya media sosial, karena media arus utama masih bisa diajak diskusi tapi kalau media sosial siapa yang bisa memagari.
Ungkapan"memusingkan" itu terkait dengan kelebihan media sosial dalam kecepatannya tapi sangat rawan dengan berita/kabar hoaks (informasi menyesatkan), sedangkan media arus utama mengedepankan akurasi dan pendalaman berita.
Kepala Negara menilai bahaya dari berita hoaks adalah munculnya fitnah yang jika dibiarkan akan berpotensi memecah belah persatuan. "Berita hoax atau kabar hoax harus kita lawan bersama-sama. Pencipta berita hoax sangat tidak bertanggung jawab dan berpotensi memecah persatuan," katanya.
Agaknya, Presiden tidak salah. Tidak banyak yang menyadari betapa ngawurnya informasi dari media sosial yang terkadang hanya disebut sebagai informasi dari "tetangga sebelah" tapi dianggap benar, sah, dan shahih, hanya karena sudah ada foto, ada video, ada "copy" dokumen asli.
Padahal, foto itu bisa merupakan tempelan beberapa foto, bisa juga merupakan rekayasa yang diambil dari foto-foto lama yang dilabeli sebagai "judul" foto baru.
Idem, video juga bisa video asli tapi diberi "dubbing" (suara pihak lain). Atau, bahkan video yang sengaja disajikan "terpotong" dari sekian durasi hanya untuk menimbulkan bias, karena targetnya kebencian.
Soal dokumen asli dengan tanda-tangan "seolah-olah" asli itu pun sama, karena sebenarnya bisa diberi "tanda tangan" atau "stempel" secara "scan". Ya, banyak cara manipulasi lagi dalam dunia maya.
Satu lagi, tidak banyak juga yang menyadari betapa kengawuran "tetangga sebelah" itu bisa digandakan atau dibuat berantai. Terbongkarnya sindikasi "Saracen" sebenarnya membuktikan hal itu.
Artinya, ada "tetangga sebelah" yang sengaja berniat membuat ribuan (bahkan, jutaan) akun palsu yang "hanya" digunakan menyebarluaskan informasi bohong dan bernuansa kebencian kepada pihak tertentu melalui media sosial yang "connect" dengan akun-akun palsu itu. Ya, share kemana-mana yang sistematis dan massif.
Kalau mau contoh "potongan" video atau "dubbing" suara, contohnya bisa ditelusuri di "dunia maya" (youtube). Video tentang Gunung Agung meletus pada awal tahun 2017 adalah video gunung di tempat lain yang meletus pada malam hari, namun di-share dengan diberi judul Gunung Agung, sehingga seolah-olah Gunung Agung meletus.
Padahal, Gunung Agung sampai sekarang hanya mengalami erupsi yang relatif teramati/terpantau, namun dampak "gunung lain" dengan diberi judul Gunung Agung itu sudah sangat terbukti, yakni masyarakat panik, pariwisata merosot, sejumlah karyawan di-PHK, dan seterusnya. Ya, hanya "share" dari "tetangga sebelah" saja memiliki dampaknya sangat dahsyat.
Tidak hanya itu, potongan-potongan video dari pernyataan tokoh untuk memantik emosi kebencian juga sangat banyak di youtube. Jangan dikira bahwa pernyataan yang mengundang kebencian terhadap tokoh tertentu itu bisa berasal dari potongan ceramah yang tidak utuh atau sengaja dipotong agar pihak lain juga ikut benci.
Jangan dikira bahwa sebuah video yang di-share itu bisa berasal dari kejadian yang sudah di-skenario (direncanakan) terlebih dulu, lalu di-video-kan dan di-share kemana-mana untuk sekedar mengundang kebencian.
Jangan dikira pula kalau tidak hati-hati, maka potongan video tentang tokoh tertentu akan digandakan menjelang pemilu/pilpres. Maksudnya kampanye, tapi caranya kejam, karena tidak fair atau sengaja tidak fair dengan "memotong" video yang ada.
Contoh "video skenario" adalah polemik "Full Day School" yang ditampilkan dalam bentuk video demonstrasi santri dengan umpatan "Bunuh Menteri-nya", maka orang pun langsung mengecam, santri kok begitu?. Tahukah bahwa video itu memang asli, tapi ucapan "Bunuh Menteri-nya" itu hanya suara dubbing yang dibuat mirip tapi sumbernya dari orang lain, tapi ditempelkan dalam video itu.
Akhirnya, video yang dibuat secara tidak fair untuk meramaikan polemik itu pun kita anggap asli, lalu kita "share" kemana-mana. Dampaknya, kita pun bisa benci kepada kaum santri dan pesantren yang mungkin saja se-agama.
Jebakan milineal
Contoh video "suara" santri itu tidak jauh berbeda dengan video tentang gunung di tempat lain yang diberi judul "Gunung Agung"... Atau, video-video menjelang pemilu/pilpres yang menggunakan isu-isu ideologis untuk sekadar memantik benci, benci, dan benci.
Hoaks atau informasi yang seolah-olah benar tapi menyesatkan itu memiliki dampak fatal bila terkait dengan politik atau ideologi, karena bisa menjadi "jebakan" untuk kaum milenial yang belum memiliki banyak informasi. Bagi yang sudah memiliki banyak informasi justru memicu kegaduhan.
Padahal, "jebakan" itu bisa saja untuk kepentingan sesaat (politis atau rivalitas bisnis), tapi menghalalkan segala cara. Itu mirip dengan teroris yang mengajarkan "jihad" dengan cara merampok bank, membunuh anak-anak atau orang-orang tua yang tidak berdosa, dan sebagainya.
Celakanya lagi, informasi "tetangga sebelah" yang menyesatkan itu tidak dikritisi, tapi justru didukung oleh para penulis yang lahir dari media sosial. Ya, medsos melahirkan para penulis baru atau para penulis dadakan.
Para penulis yang sering mendaulat dirinya sendiri sebagai "senior" (dalam bidang tertentu) itu pun menuliskan komentarnya, lalu di-share lewat medsos pula, padahal isinya justru di luar keahliannya dan intinya cuma mendukung, nyinyir, atau menolak, bukan mencerahkan masyarakat. Ya, jebakan pun semakin sempurna.
Jebakan "tetangga sebelah" untuk kaum milineal yang cukup membahayakan itu seringkali berupa "share" informasi agama untuk mencari pengikut melalui cara-cara "cuci otak".
Misalnya, mereka menyodorkan logika jebakan kepada kaum milineal antara lain: pilih mana antara Islam dan Pancasila?, jika Pancasila itu sejalan atau malah bagian dari ajaran Islam, kenapa tak langsung memilih Islam saja?, atau lebih tinggi mana Islam dengan Pancasila?.
Selanjutnya, jika Pancasila sesuai dengan Islam, kenapa Negara Muslim yang lain tak memakai Pancasila?, kalau Pancasila sejalan dengan Islam, maka Khilafah juga sejalan dengan Islam, NKRI Bersyariah juga sama saja dengan Pancasila, dan seterusnya.
"Pertanyaan seperti itu adalah pintu masuk untuk mencuci otak generasi milenial terkait politik kebangsaan," kata dosen Pemikiran Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, DR Ainur Rofiq Al Amin SH MAg (Kompas/26/1/2019).
Padahal, kata pengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jatim itu, Pancasila itu bukan agama dan sangat tidak layak atau tidak pantas disandingkan dengan Islam. Islam adalah agama, sedangkan Pancasila hanyalah sebatas sebuah sistem politik. Agama memiliki banyak sistem (hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) dan sistem politik hanya sebagian.
Jadi, hierarki agama dan Pancasila (sistem) itu berbeda dan tidak patut dibandingkan. Tapi, informasi separah itu di-share dengan hanya dibilang sebagai informasi dari "tetangga sebelah", padahal "share" itu dilakukan secara berantai pada jutaan akun palsu yang disengaja diciptakan untuk "penggandaan" informasi secara sistematis dan masif untuk paham/ideologi tertentu.
Jurus melawan
Untuk menangkal ngawurnya "tetangga sebelah" dan "jebakan hoaks" untuk kaum milenial itulah, sikap kritis kepada "tetangga sebelah" itu perlu digalakkan. Untuk itulah, literasi medsos atau melek medsos menjadi perlu/penting yang mungkin caranya cukup sederhana. Ada tiga cara sederhana, yakni:.
1. Bedakan informasi atau bukan informasi sebelum "share" atau "copas".
2. Untuk informasi, cari informasi pembanding ("hoax" atau bukan) lewat mesin pencari seperti google.
3. Berpikirlah "dosa online" (dampak agama) bila ingin share ulang.
Informasi itu membutuhkan sumber/narasumber (referensi) dan narasumber (ahli yang kompeten/konfirmasi), bahkan untuk media massa juga ditambahi dengan korektor (redaktur/editing), sedangkan bila bukan informasi itu tidak membutuhkan referensi dan narasumber, sehingga bisa di-share tanpa pembanding. Bukan informasi itu misalnya, humor, motivasi, chat/obrolan/curhat, lagu, dan sejenis hal-hal ringan (human interes) lainnya. Jadi, kalau informasi perlu pembanding dari sumber (referensi) dan narasumber (ahli yang kompeten) serta editor (redaktur).
Selain sikap kritis dari masyarakat dengan tiga cara sederhana itu, kalangan pers juga memiliki sejumlah jurus untuk menghajar hoaks dari "tetangga sebelah", diantaranya:.
1. menyajikan rubrik "hoaks atau bukan" (rubrik khusus) untuk mengedukasi masyarakat.
2. pemberitaan dan sosialisasi sanksi hukum bagi penyebar hoaks (UU ITE).
3. cara-cara pro-aktif untuk pencegahan.
Cara-cara pro-aktif untuk pencegahan yang sering dilakukan pers antara lain bekerja sama dengan Kominfo/Humas atau industri/LSM untuk sosialisasi pencegahan hoaks dan literasi medsos di kalangan pelajar, mahasiswa, pesantren, dan komunitas tertentu.
Agaknya, jurus-jurus yang dilakukan kalangan pers itu tidak percuma atau ada hasilnya. Buktinya, Presiden dalam sambutan pada peringatan HPN ke-74 di Surabaya (2019) atau dua tahun kemudian pun mengaku gembira dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media konvensional atau arus utama yang membaik dibandingkan dengan media sosial.
"Terus terang saya sangat gembira dengan situasi seperti ini. Selamat kepada pers yang masih sangat dipercaya masyarakat," ujarnya di sela sambutan Puncak Peringatan HPN 2019 di Surabaya (9/2/2019).
Presiden menyampaikan data tentang tingkat kepercayaan terhadap media konvensional pada tahun 2016 yakni 59 persen dan 45 persen ke media sosial, kemudian pada 2017 mencapai 58 persen terhadap media konvensional dan 42 persen ke media sosial.
Pada 2018, tingkat kepercayaan terhadap media konvensional mencapai 63 persen dan 40 persen untuk media sosial. "Dari data itu, semakin ke sini semakin besar kepercayaan publik. Ini harus dipertahankan," ucap Jokowi.
Menurut Presiden, era media sosial membuat siapa pun dapat bekerja sebagai jurnalis, tetapi tidak sedikit yang menyalahgunakan media sosial untuk menebar ketakutan di ruang publik.
"Sekarang setiap orang bisa bisa menjadi wartawan dan pemred. Tetapi kadang digunakan untuk menciptakan kegaduhan, ada juga yang membangun ketakutan pesimisme," katanya.
Presiden memisalkan, saat pemerintah menyampaikan satu informasi yang berisi kabar baik dan fakta, namun yang muncul di ruang publik disimpulkan sebagai satu pencitraan semata.
"Ketika pemerintah menyampaikan 'well infomation society', jangan diartikan sebagai kampanye atau pencitraan, tetapi itu untuk membangun masyarakat yang sadar akan informasi," katanya.
Ya, tidak hanya Presiden Jokowi, tapi banyak kalangan birokrat, aparat, dan pemerhati media yang berharap, di tengah kegaduhan dan masifnya peredaran berita bohong atau hoaks yang menjebak masyarakat dan generasi milenial, maka media konvensional yang profesional dapat menjadi pengendali suasana, mencari kebenaran dan fakta, serta penjernih informasi (verifikator).
Pers dan jebakan hoaks untuk kaum milenial
Minggu, 10 Februari 2019 6:58 WIB
Tingkat kepercayaan terhadap media konvensional pada tahun 2016 yakni 59 persen dan 45 persen ke media sosial, kemudian pada 2017 mencapai 58 persen terhadap media konvensional dan 42 persen ke media sosial. Pada 2018, tingkat kepercayaan terhadap me