"Kegiatan FGD yang dihadiri perwakilan Dinas Pertanian kabupaten/kota di Bali, tokoh agama, adat, budaya dan mahasiswa digelar terkait isu perdagangan daging anjing di Bali," kata Plt Kadis Pertanian dan Pangan Badung, Putu Oka Swadiana, Kamis.
Oka Swadiana menjelaskan, berdasarkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 524.3/9811/KKPP/Disnakkeswan tanggal 6 Juli 2017 yang ditujukan kepada Bupati dan Wali kota, mengatakan isu perdagangan daging anjing yang sempat beredar diharapkan tidak berdampak kepada citra pariwisata Bali.
"Bupati dan wali kota juga diminta melaksanakan empat poin. Yaitu pertama, pendataan terhadap lokasi penjualan daging anjing. Kedua, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat bahwa daging anjing bukan merupakan bahan pangan asal hewan yang direkomendasikan untuk dikonsumsi," ujarnya.
"Yang ketiga, pengawasan terhadap kemungkinan adanya penjualan daging anjing dengan merk daging lain. Dan yang terakhir, penertiban terhadap penjualan daging anjing karena tidak dijamin kesehatannya dan dapat berpotensi terhadap penularan penyakit `zoonosis` terutama rabies dan bahaya fatal lainnya," katanya.
Oka Swadiana mengatakan, melalui FGD tersebut, pihaknya berharap dapat terjadi diskusi dari berbagai pihak sekaligus mendapat masukan dari berbagai pihak.
"Selain berkaitan dengan citra pariwisata, isu penjualan daging anjing juga perlu mendapat masukan dari tokoh agama, adat, dan budaya di Bali. Secara umum, konsumsi daging anjing dinyatakan tak sesuai dengan adat dan budaya Bali," ujarnya.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Syamsul Maarif mengatakan, isu penjualan daging anjing sangat riskan terhadap pariwisata Bali, khususnya dan Indonesia pada umumnya.
"Itu karena di luar negeri, anjing merupakan hewan peliharaan yang sangat disayang. Jadi isu penjualan daging anjing sangat berpengaruh terhadap pariwisata," ujarnya. (WDY)