Jakarta (Antaranews Bali) - Rokok elektrik, atau yang lazim disebut vape, diklaim lebih aman karena tidak menghasilkan zat berbahaya yang dihasilkan dari rokok yang dibakar.
Tapi, apakah risiko rokok elektrik benar-benar berbeda dengan rokok biasa?
Pemerhati kesehatan dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik, drg. Amaliya, menjelaskan terdapat perbedaan hasil akhir dari rokok konvensional yang dibakar dengan rokok elektrik yang berbahan cairan.
Rokok yang dibakar menghasilkan 4.000 zat berbahaya yang dapat memicu kanker karena secara langsung masuk ke tubuh perokok.
Salah satu zat yang dihasilkan dari pembakaran rokok adalah tar, yang juga dapat ditemui pada asap pembakaran kayu, sampah, batu bara atau asap dari knalpot kendaraan bermotor.
Sementara itu, rokok elektrik atau vape, tidak menghasilkan asap seperti rokok biasa, melainkan uap, sehingga tidak menghasilkan tar.
“Tapi, bukan berarti tidak ada risiko sama sekali di vape,” kata Amaliya saat bincang-bincang mengenai rokok elektrik di Radio Trijaya.
Rokok elektrik tetap mengandung nikotin, yang dapat masuk ke tubuh, meski pun kadarnya tidak sebanyak rokok konvensional yang dibakar.
Mengutip hasil penelitian Public Health England pada 2015 mengenai rokok elektrik, produk turunan tembakau ini memiliki risiko kesehatan 5 persen dari uap yang dihasilkan, meskipun jauh lebih sedikit dibandingkan dengan rokok biasa.
Jika perokok pasif memiliki risiko kesehatan karena asap rokok, perokok elektrik pasif juga berisiko walaupun lebih rendah jika dibandingkan perokok konvensional pasif.
Selain itu, perlu diperhatikan juga kemasan likuid yang berwarna-warni dan memiliki rasa buah akan menarik perhatian anak-anak.
Amaliya memerhatikan beberapa kasus di negara lain anak keracunan likuid rokok elektrik karena mengira minuman rasa buah.
Ia juga melihat perlu ada regulasi bagi vape agar tidak menambah jumlah orang yang tertarik merokok karena vape, bukannya menurunkan jumlah perokok aktif yang beralih ke vape demi mengurangi rokok dan menurunkan risiko kesehatan. (WDY)