Denpasar (Antaranews Bali) - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat penjualan energi di Bali mencapai minus 0,03 persen pada November 2017 atau tumbuh melambat dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 11,61 persen.
"Sejak Oktober tahun lalu pertumbuhan penjualan energi mulai tidak baik dan itu terus berlanjut hingga tahun ini tidak pernah di atas dua persen," kata General Manajer PLN Distribusi Bali Nyoman Suwarjoni Astawa di Denpasar, Kamis.
Menurut dia, penjualan energi listrik tahun 2016 rata-rata melebihi 5 miliar kilowatt per jam (kwh) atau setara dengan 5 terrawatt (twh) dan angka penjualan tahun ini melorot mencapai pada rentang sekitar 3 miliar kilowatt atau 3 terrawatt (twh) setiap bulannya.
Pria yang berasal dari Bubunan Seririt, Kabupaten Buleleng itu memprediksi penurunan penjualan tersebut disebabkan salah satunya karena masyarakat saat ini mulai sadar untuk mengonsumsi listrik lebih hemat.
Dia menjelaskan kalangan industri atau rumah rangga kini sudah mulai memanfaatkan lampu hemat energi atau LED yang turut berkontribusi menurunkan penjualan energi.
Nyoman Suwarjoni juga memperkirakan terjadi perubahan perilaku mayoritas wisatawan mancanegara saat ini berwisata di Bali seperti dari China yang lebih bergaya hidup hemat dengan lebih banyak menikmati aktivitas luar ruangan.
Industri perikanan, kata dia, juga turut berperan mengingat petani tambak lebih awal memanen udang dengan masa pengeringan kolam menjadi lebih lama sehingga tidak menggunakan listrik dalam jangka waktu yang lama pula.
Usaha pengalengan ikan di Pengambengan Kabupaten Jembrana, kata dia, juga mengalami penurunan produksi karena bahan baku ikan tertentu seperti lemuru terbatas sehingga konsumsi listrik menurun.
Selain itu, dampak erupsi Gunung Agung, lanjut dia, yang mengakibatkan melesunya sektor pariwisata khususnya akomodasi penginapan mengalami penurunan okupansi juga berkontribusi menurunkan penjualan energi.
PLN Bali mencatat komposisi pelanggan listrik di Pulau Dewata masih didominasi kalangan rumah tangga mencapai 81,2 persen, bisnis 12 persen, sosial 2,5 persen dan lain-lain mencapai 3,9 persen terdiri dari kalangan pemerintah dan layanan khusus. (*)