Denpasar (Antara Bali) - Petani Bali menerapkan teknik pertanian ramah lingkungan dengan memelihara kesuburan tanah serta menghindari terjadinya longsor dan upaya itu telah diterapkan secara turun temurun.
"Upaya tersebut dilakukan dengan membuat terasering pada lahan sawah maupun lahan kering yang memiliki kemiringan, sehingga mampu mencegah terjadinya longsor," kata Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Doktor Luh Kartini di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, dengan demikian tanah longsor dapat dihindari sedini mungkin, meski Bali memiliki lahan kemiringan yang sangat luas yakni mencapai 114.255,81 hektare atau 20,45 persen dari total daratan Pulau Dewata.
Pengelolaan alam dan lingkungan Bali selalu mengacu pada kearifan lokal yang selama ini telah dilaksanakan dengan baik, ujarnya.
Kearifan lokal itu antara lain berlandaskan konsep "Tri Hita Karana" yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, alam lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa, penataan ruang, hukum adat, peraturan tertulis maupun tidak tertulis di masing-masing desa pekraman (adat) di Bali.
Luh Kartini menambahkan, masyarakat Bali khususnya petani hingga sekang masih menganggap serangan hama dan penyakit tanaman juga sebuah bencana.
Untuk menghindari bencana itu, petani di masing-masing subak menggelar kegiatan ritual sesuai dengan tingkatannya. Subak yang diterapkan petani Bali secara turun temurun tidak saja mengatur tata air, namun secara bersama-sama mengatasi permasalahan yang timbul termasuk memberantas hama penyakit secara teknis dan ritual.
Sistem subak yang mulai menerapkan pertanian organik sangat strategis dalam mendukung kelestarian alam dan penguatan budaya Bali. Bali mempunyai potensi besar dalam bidang pertanian dilihat dari posisi geografis dengan empat danau besar yang mampu memberikan pembagian air secara merata.
Hal itu secara tidak langsung mampu meningkatkan kesejahteraan petani, meskipun secara umum kemampuan petani di Bali masih perlu terus diperbaiki, ujar Luh Kartini.(*)