Denpasar (Antara Bali) - Pakar Universitas Udayana Doktor Luh Kartini menilai masyarakat Bali dalam nenjalani aktivitas kehidupan sehari-hari mempunyai hubungan yang sangat erat dengan alam lingkungannya sehingga mampu menekan terjadinya banjir dan tanah longsor akibat ketidakseimbangan alam.
"Bahkan masyarakat mengenal adanya konsep tri hita karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, alam linngkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa," kata doktor Luh Kartini yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, masyarakat setempat menggelar kegiatan ritual yang khusus ditujukan untuk kelestarian lingkungan yakni pada hari Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh, yang dirayakan setiap 210 hari sekali atau enam bulan.
Bahkan pada hari-hari tertentu melakukan kurban suci "pakelem" dengan menenggelamkan kurban suci berupa sapi, kambing, babi, itik dan angsa di laut samudera, danau atau lubang kepundan gunung api.
Demikian pula masyarakat yang bermukim di kawasan yang sering dilanda bencana alam, umumnya memiliki pengalaman yang cukup banyak tentang prilaku dalam menghadapi bencana yang mungkin akan timbul.
"Pengalaman itu akan melahirkan sebuah kearifan tradisional yang dapat diwariskan kepada anak cucu sehingga terhindar dari bencana alam," ujar Luh Kartini.
Ia menambahkan, meskipun demikian berdasarkan hasil kajian yang dilakukan lereng-lereng sungai, bukit dan gunung di Bali cukup potensi mengalami longsor dalam katagori rendah, sedang dan tinggi.
Potensi longsor katagori tinggi hampir dimiliki seluruh daerah ini, kecuali Kota Denpasar. Potensi terbesar ada di wilayah Kabupaten Buleleng, daerah pesisir utara Bali, menyusul Bangli, Gianyar, Karangasem dan Tabanan.
Bali memiliki potensi tanah kemiringan seluas 114.225,8 hektare atau 20,45 persen dari total daratan Pulau Dewata. Sisanya 12,42 persen atau 69.482,7 hektare katagori potensi rendah dan 5,7 persen atau 31.825,8 hektare katagori potensi sedang dan 12.947,1 hektare atau 2,32 persen dalam katagore tinggi, tutur Luh Kartini.(*)