Gianyar (Antara Bali) - Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Gianyar I Gusti Purbaya menilai, maraknya kegiatan politik praktis menjelang pelaksanaan pilkada yang menyasar masyarakat desa adat, berpotensi memicu terjadinya ketegangan antarkelompok.
"Kami memang merasakan situasi seperti itu sedang berkembang di masyarakat saat ini, namun perlu digarisbawahi bahwa ketegangan bisa terjadi apabila desa adat masih tergantung terhadap pemerintah," katanya di Gianyar, Bali, Senin.
Dia mengatakan, selain hal itu, salah satu hal yang bisa memicu ketegangan antarkelompok desa adat adalah Perda Desa Pekraman.
Oleh karena itu, dia berharap, perda itu harus dihapus. Hal itu adalah tugas DPRD Bali untuk menyuarakannya supaya perda tersebut ditiadakan.
Purbaya mencontohkan, salah satu masalah yang ditimbulkan oleh perda tersebut adalah pajak hotel dan restoran yang diserahkan kepada pihak desa pekraman, namun pemanfaatannya hanya untuk pembangunan fisik saja.
"Seharusnya untuk bisa meredam terjadinya konflik, dana peruntukkan itu sebagian digunakan guna pembinaan budi pekerti masyarakat," ujarnya.
Selain bisa menimbulkan konflik, tambah dia, adanya agenda politik praktis dan perda tersebut membuat masyarakat berebut untuk menjadi ketua desa adat.
"Hal itu wajar, namun sangat disayangkan jika tujuan untuk menjadi ketua tersebut adalah untuk meraih uang semata, bukannya memberikan pengabdian," katanya.
Dia berharap, kepada pemimpin masa depan Pulau Dewata bisa membuat kesepakatan dengan desa adat untuk tidak melakukan politik praktis.
Sementara Koordinator Wilayah Forum Perbekel Kecamatan Blahbatuh I Gusti Ariawan mengatakan, penerapan politik praktis yang berkembang menjelang hajatan demokrasi itu cukup mempengaruhi ketegangan antarkelompok.
"Untuk menghindari ketegangan perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat dengan baik untuk tidak terperangkap dalam politik praktis," katanya.(*)
Politik Praktis Desa Adat Picu Ketegangan
Senin, 13 Juni 2011 16:42 WIB