Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar menggelar kelas kreatif membahas hak atas kekayaan intektual (HAKI) dalam karya seni, khususnya film, Selasa.
Kegiatan tersebut menampilkan dua pembicara, yakni Dr I Wayan Wiryawan SH MH, dosen Fakultas Hukum dan Ketua Sentra Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Universitas Udayana serta Dewa Ayu Diah Cempaka Dewi, programmer film.
HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, atau lembaga guna memanfaatkan kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan.
Kedua pembicara mengetengahkan bahasan mendalam mengenai mudahnya publik atau masyarakat mengunduh, menggunakan, menggandakan, mendistribusikan, hingga membuat karya alih wujud.
Kemudian mendistribusikan kembali sebagian atau keseluruhannya dalam berbagai format media, baik tujuan kesenangan ataupun komersial.
Dr I Wayan Wiryawan yang tampil bersama Tim Sentra HAKI Unud, I Nyoman Mudana SH MH, memaparkan tentang latar belakang HAKI serta peran strategis HAKI sebagai elemen kunci pembangunan bangsa.
"Faktanya walaupun masyarakat Indonesia sudah banyak mengetahui tentang HAKI tetapi belum semuanya mengerti dan bahkan memahaminya. Contohnya sering ditemukan penyebutan bagian-bagian HAKI disepadankan dengan Paten," katanya.
HAKI sendiri terbagi dalam dua bagan utama, yakni Copyright yang di dalamnya meliputi kreasi bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan dan hak-hak terkait serta bagian kedua adalah Industrial property, meliputi paten, merek, desain tata letak, rahasia dagang dan erlindungan Varietas.
"Perlindungan hukum Hak Cipta terhadap Karya Seni dapat diperoleh secara otomatis sejak gagasan tentang karya seni tersebut telah diwujudkan dalam bentuk produk atau proses. Namun untuk mendapatkan kepastian hukum dalam pembuktian sebaiknya dilakukan pencatatan atau pendaftaran" ujar I Nyoman Mudana.
Sementara Ayu Diah Cempaka menyoroti perihal tradisi seni dan kesadaran HAKI masyarakat Indonesia. Kenyataannya, selama ini tradisi seni di Indonesia cenderung bersifat kolektif, tidak ada kepengarangan yang sifatnya tunggal dan karya-karya seni yang diciptakan, seringkali dinamai sesui nama kelompok.
Hal ini memunculkan sikap permisif terhadap peniruan. Ramainya pembajakan film, menurut lulusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada itu, didukung sejumlah faktor.
Faktor itu antara lain perkembangan teknologi, dimana semua orang bisa membeli dan memakai alat rekam, cepatnya penyebaran karya digital lewat dunia maya, termasuk berkurangnya jumlah bioskop, Ayu Diah. (WDY)
BBB Gianyar Gelar Kelas Kreatif Bahas HAKI
Selasa, 4 Juli 2017 20:18 WIB