Denpasar (Antara Bali) - Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Bali, I Gede Nyoman Wiranata, dan Bendesa Adat Tanjung Benoa, Made Wijaya, bertemu untuk membahas "reklamasi" terselubung di kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Tanjung Benoa, Kabupaten Badung, Bali, seluas 1.373 hektare.
"Segala bentuk pemanfaan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, termasuk pemanfaatan kawasan seluas 1.373 hektare yang tanpa izin itu harus dihentikan, karena melanggar UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan," kata Wiranata saat menerima audensi Bendesa Adat Tanjung Benoa di Denpasar, Selasa.
Untuk itu, semua peraturan yang ada di desa adat agar tetap mengacu pada peraturan yang berlaku sehingga ada sinergi pemeliharaan Tahura dengan baik, karena itu pihaknya melaporkan berbagai bentuk pelanggaran yang ada kepada Polda Bali untuk melakukan penindakan sesuai dengan prosedur yang ada.
"Pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan tersebut bukan termasuk delik aduan, karena itu laporan itu seharusnya dapat diproses lebih cepat. Apalagi, upaya itu untuk melindungi hutan mangrove yang menjadi paru-paru Kota Denpasar dan untuk menahan abrasi, karena saat ini kawasan tersebut telah menjadi perhatian publik, baik tingkat nasional dan internasional," katanya.
Pihaknya menekankan adanya komunikasi yang baik antara masyarakat desa atau adat setempat dalam melakukan berbagai bentuk aktivitas yang menggunakan kawasan konservasi Tahura Ngurah Rai sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku.
"Kami mengharapkan adanya kesamaan visi antara pemerintah dengan penduduk setempat yang saling memahami dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan sejahtera," ujar Gede Nyoman Wiranata.
Dalam kesempatan itu, Bendesa Adat Tanjung Benoa, Made Wijaya, mengaku pihaknya melakukan pembangunan tersebut sebagai bentuk implementasi program Panca Pesona - Desa Pekraman Tanjung Benoa yang melibatkan beberapa warganya.
"Upaya itu untuk mengembalikan Pulau Pudut agar kembali produktif yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat setempat," ujar Made Wijaya yang melakukan kegiatan itu dalam tugas sebagai bendesa.
Baginya, kawasan tersebut perlu mendapatkan pembenahan dengan baik, karena menjadi salah satu tempat objek wisata yang berkunjung ke Pulau Bali, karena itu pihaknya menolak secara tegas rencana Reklamasi Teluk Benoa (RTB) hingga akhir hayat.
Secara terpisah, Humas Forum Peduli Mangrove Bali (FPMB), Lanang Sudira, menambahkan, pihaknya mendukung penegakan hukum tersebut untuk mencegah bertambahnya kerusakan yang lebih parah.
"Kawasan Tahura Ngurah Rai menjadi otoritas pihak terkait bukan wewenang desa adat, sehingga pemanfaatannya perlu adanya koordinasi dan izin yang jelas. Selama ini, kami berupaya ikut serta menanam bibit mangrove, peremajaan dan pembersihan sampah secara rutin," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya menyayangkan pihak-pihak tertentu yang berani melakukan penebangan pohon mangrove dan upaya "reklamasi" tanpa izin di Teluk Benoa berdekatan dengan "Pelinggih" Gading Sari/ Pudut kawasan Rahura Ngurah Rai. (WDY)