Kuta (Antara Bali) - Sejumlah warga di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung, mengaku senang dengan adanya kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulazis al Saud di Pulau Bali.
Bahkan bagi mereka kunjungan yang bersifat pribadi itu memiliki makna toleransi yang bisa menjadi bahan renungan untuk masyarakat Indonesia, agar lebih meneguhkan sikap tersebut dalam kehidupan sosial.
Aro Wibisono misalnya, seorang pelajar SMA di Bali yang mengaku gembira dengan kunjungan Raja beserta sekitar 1.500 anggota rombongannya.
Menurut pria yang berasal dari Dalung Permai, Badung itu, kunjungan Raja Salman merupakan sebuah agenda yang cukup mengagetkan karena belum pernah sebelumnya ada salah satu tokoh besar dari negara Islam yang berkunjung ke Bali.
Sementara itu, salah seorang jamaah Masjid Ibnu Batutah di Nusa Dua, Agus Susanto menilai kunjungan Raja Salman menunjukkan sikap toleransi.
Seorang penjaga dua kota suci umat Islam yang mau menyambangi lokasi yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, merupakan bukti bahwa Islam tidak anti dengan pemeluk agama lain.
Hal tersebut tentunya mampu menepis anggapan sejumlah pihak bahwa Islam merupakan agama yang keras terhadap pemeluk agama lain, ujar Agus.
Selain itu, sikap warga Bali yang menerima kedatangan rombongan dari Arab Saudi itu juga ia nilai mencerminkan toleransi warga Hindu terhadap kaum dari luar Hindu, katanya menambahkan.
Pandangan serupa juga dikemukakan salah seorang jemaat dari Gereja Katholik Maria Bunda Segala Bangsa di kawasan yang sama.
Lilis Dewanto, jemaat gereja yang sudah 20 tahun menetap di Bali itu menganggap kedatangan Raja Salman diharapkan bisa membawa kedamaian dan dampak positif bagi warga lokal.
Dengan sikap toleransi yang dicerminkan Raja Salman, dia pun berharap tokoh besar tersebut mau berkunjung ke kawasan peribadatan di Puja Mandala.
Sikap toleransi dan menerima yang ditunjukkan warga Bali memang patut dijadikan contoh.
Sebelumnya, saat Raja Salman tiba di Base Ops TNI AU I Gusti Ngurah Rai, sebanyak enam tokoh agama turut menyambut Sang Raja ketika turun dari pesawat yang ia tumpangi.
Bahkan salah seorang di antaranya merupakan Romo dari Gereja Katholik Maria Bunda Segala Bangsa, yang menyambut dan memberikan salam kepada Raja Salman menggunakan Bahasa Arab.
Romo Evensius Dewantoro, romo yang menyambut Raja Salman di Base Ops mengatakan, kedatangan itu menunjukkan sikap raja yang mau menerima, berhubungan, dan merangkul golongan yang berbeda.
Ia pun menggambarkan bahwa kunjungan Raja Salman telah membawa "wajah" Islam sebagai agama yang teduh.
Di tengah-tengah situasi politik Indonesia yang kacau akibat pandangan sempit dari sejumlah golongan atas golongan yang lain, kunjungan Raja Salman justru memunculkan pandangan bahwa keberagaman merupakan sesuatu yang bermanfaat untuk membangun bangsa.
Lambang Toleransi Bali
Selain dalam bentuk kunjungan kenegaraan, sikap toleransi di Bali juga meraga dalam wujud komplek peribadatan Puja Mandala di Nusa Dua, Bali.
Puja Mandala, merupakan sebuah lahan seluas tiga hektar yang dua per tiga luasnya dibangun sebanyak lima tempat peribadatan bagi lima agama yang berbeda.
Kelima bangunan ibadah tersebut antara lain Masjid Ibnu Batutah, Gereja katholik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Doa, dan Pura Jagat Natha.
Komplek peribadatan yang pembangunannya dimulai pada pertengahan era 90-an tersebut masih ramai digunakan untuk beribadah oleh warga sekitar.
Untuk Masjid Ibnu Batutah, mampu menampung hingga 5.000 jamaah saat sholat Jumat dan jumlahnya bisa lebih banyak saat sholat Idul Fitri.
Sementara Gereja Katholik Maria Bunda Segala Bangsa memiliki jumlah jemaat mencapai 3.100 orang dari 1.173 KK dengan wilayah paroki meliputi Jimbaran, Ungasan, Mumbul, Taman Griya, Penta, dan wilayah sekitar lainnya.
Sikap toleransi yang tercermin di Puja Mandala sendiri tercermin mana kala dilaksanakan agenda ibadah antar-agama yang berlangsung secara bersamaan.
Lilis mencontohkan, warga yang beribadah dalam waktu berbarengan biasanya akan saling mengalah atau bergantian dalam melaksanakan kegiatan peribadahan mengingat lokasi parkir kendaraan yang sangat terbatas.
Ia mencontohkan, saat hari Misa Jumat Agung maka pelaksanaannya akan menunggu hingga kegiatan shalat Jumat di Masjid Ibnu Batutah selesai.
Saat kegiatan shalat Jumat usai, warga yang menjalankan ibadah tersebut pun bergegas meninggalkan masjid agar jemaat gereja bisa memasang kursi atau perlengkapan lain untuk menjalankan Misa Jumat Agung.
Sementara Agus pun menilai nilai-nilai toleransi yang ada di kawasan Puja Mandala dan sekitarnya terwujud dengan sangat baik.
Baik warga Muslim, Katholik, Hindu, Protestan, dan Budha bisa saling menerima kondisi dan menghargai kegiatan ibadah masing-masing.
Meskipun kerap "berbenturan" dalam hal pelaksanaan kegiatan keagamaan, namun ia mengatakan hal tersebut tidak menjadi masalah karena dalam pelaksanaannya selalu berkoordinasi dengan pengurus tempat peribadatan yang ada di Puja Mandala.
Oleh sebab itu, tidak salah jika Bali dinobatkan sebagai lokasi keberagaman wisata dan budaya, tetapi juga keberagaman dan toleransi sebagaimana slogan "Bhineka Tunggal Ika" yang menyatukan keberagaman berbagai latar belakang di Indonesia. (WDY)
Lambang Toleransi dalam Kunjungan Raja ke Bali
Senin, 6 Maret 2017 9:10 WIB