Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB) yang merupakan lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar, Bali, menggelar pemutaran film bertema "Semerbak Mayang di Medan Perang" selama tiga hari, 22-24 Februari 2017.
"Film tersebut mengedepankan pengalaman dan sentuhan kemanusiaan, berlatar peristiwa dan kisah pertempuran, Perang Dunia I, Perang Dunia II maupun masa Perang Dingin," kata penata acara tersebut, Juwitta K Lasut, di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan, kisah yang diungkap dalam film tersebut umumnya mengharukan dan menyentuh yang dituangkan oleh para sutradara mumpuni menjadi renungan yang dalam dengan konsep misbar dan digelar di halaman terbuka dengan layar lebar ukuran 2x4 meter.
"Kegiatan tersebut juga diisi dengan diskusi bersama Pino Confessa, seniman kelahiran Taranto, Italia tahun 1953," katanya.
Pino Confessa menekuni seni pertunjukan "commedia dell`arte", sebuah bentuk teater yang menggunakan topeng sebagai medium. Pino Confessa berusaha menjembatani berbagai kesenian Indonesia-Italia.
Ia melawat ke Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1979, kemudian memutuskan untuk menetap di Bali. Pada tahun 1999, ia dipercaya oleh Kedutaan Besar Italia menjadi Konsul Kehormatan Italia di Bali hingga sekarang.
"Perang selalu menghadirkan tragedi yang memilukan. Namun nyatanya, sejarah kita tak putus dirundung kisah-kisah kekerasan dan kekejaman yang berulang. Konflik dan pertempuran seakan adalah keniscayaan yang tak terelakkan, tetapi, di sisi lain, kita harus tetap meyakini nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme dan cinta kasih yang sesungguhnya lintas batas," ujar Juwitta K Lasut.
Sinema Bentara kali ini terselenggara berkat kerja sama dengan Sinematek Indonesia, Konsulat Kehormatan Italia, Pusat Kebudayaan Prancis Alliance Francaise de Bali, dan Konsulat Jenderal India di Denpasar, Indian Cultural Centre Bali, Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut Indonesien, serta Udayana Science Club.
Sejumlah film yang diputar tersebut telah meraih penghargaan nasional maupun internasional, antara lain Doea Tanda Mata (Indonesia, 1984, Teguh Karya), Baaria (Italia, 2009, Giuseppe Tornatore), Grace of Monaco (Prancis, 2014, Olivier Dahan), Masaan (India, 2015, Neeraj Ghaywan) dan 4 Tage im Mai (German, 2011, Achim von Borries).
Film-film tersebut menuturkan drama percintaan dan tertautkan dengan konflik perang yang sedang berlangsung, baik secara fisik maupun batin berikut absurditas para tokohnya. Setiap karya turut menampilkan konflik batin yang mencekam dan mengundang berbagai pertanyaan yang esensial.
Dalam film Doea Tanda Mata, misalnya, penonton akan disuguhkan latar Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1930-an. Film itu mengisahkan tokoh Gunadi yang berniat membalas kematian sahabatnya pada seorang komisaris polisi. Ia bekerja sama dengan Ining, seorang gadis juga memiliki tujuan yang sama.
Film besutan sutradara Teguh Karya ini telah meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik, Penata Musik Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik pada Piala Citra 1985. (WDY)