Jakarta (Antara Bali) - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebutkan kebijakan perdagangan Amerika Serikat era Presiden Donald Trump yang berpeluang menjadi semakin protektif tidak akan terlalu memengaruhi kinerja ekspor Indonesia ke negara itu.
Melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, Faisal menjelaskan selama ini AS memang menjadi mitra dagang utama Indonesia dengan nilai total perdagangan mencapai 19,27 miliar dolar AS sepanjang Januari hingga Oktober 2016.
"Akan tetapi, produk-produk ekspor andalan Indonesia ke AS, selain merupakan produk berbasis komoditas yang kompetitif seperti karet, udang, dan furniture, juga merupakan produk manufaktur padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, seperti tekstil dan produk tekstil serta alas kaki," ucap dia.
Kontribusi tekstil, produk tekstil, dan alas kaki mencakup 31 persen dari total ekspor Indonesia ke AS.
Faisal menambahkan dengan tingkat upah yang relatif tinggi, peluang AS untuk membangun industri manufaktur padat karya yang kompetitif masih sangat kecil.
"Dengan demikian, AS diperkirakan akan tetap mengimpor produk-produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki dari negara-negara yang berupah buruh murah, seperti Vietnam dan Indonesia," kata dia.
Sementara itu, Faisal mengungkapkan hal yang justru perlu dikhawatirkan adalah pangsa pasar ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut yang semakin tersaingi oleh produk-produk serupa dari negara-negara lain yang memiliki tingkat upah lebih rendah, seperti Vietnam dan Bangladesh.
Selain itu, produk-produk manufaktur dari Indonesia saat ini sebenarnya sudah dikenakan tarif yang cukup tinggi di AS (rata-rata tarif 'most favored nation' di atas 10 persen).
Tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan terhadap produk-produk manufaktur impor dari Meksiko yang umumnya hampir nol persen, karena adanya kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA).
Faisal mengatakan kemungkinan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk produk-produk manufaktur dari Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan produk-produk dari negara-negara yang memperoleh tarif lebih rendah atau yang sudah dibebaskan, seperti misalnya Meksiko.
"Hanya saja, beberapa produk ekspor Indonesia yang memiliki subtitusi impor di AS seperti minyak sawit, patut diwaspadai peluangnya untuk dikenakan kebijakan restriktif khususnya dalam bentuk non-tarif. Pasalnya, hambatan non-tarif di AS justru banyak dan bervariasi," ucap dia.
Berdasarkan laporan WTO, saat ini berbagai jenis hambatan non-tarif yang dikenakan AS berjumlah 4780, jauh lebih banyak dibanding Indonesia yang hanya berjumlah 272. (WDY)
CORE: Proteksionisme AS Tidak Terlalu Pengaruhi Indonesia
Sabtu, 21 Januari 2017 20:21 WIB