Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Lagi pula Sri Darma harus memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab kegiatan dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan supaya seminar internasional tersebut bisa segera terwujud. Termasuk pula menentukan tema seminar yang bukan hanya menarik perhatian, tapi juga sesuai dengan kondisi saat itu.
Terciptalah tema mengenai "Menyongsong Era Milenium." Selanjutnya tinggal menentukan para pembicaranya. Sri Darma lantas menghubungi seorang dosen di Southern Cross University. Memintanya agar bersedia menjadi pembicara dalam seminar internasional yang akan diselenggarakan oleh Undiknas. Dia juga mengundang pembicara dari International Labour Organization (ILO). Keduanya menyatakan bersedia menjadi pembicara. Supaya seminar itu lebih hidup, maka disiapkan pula pembicara dari dalam negeri. Pihak Undiknas lantas memercayakan posisi itu kepada Sri Darma dan Kiskinda.
Selanjutnya tinggal memilih moderator. Keberadaan moderator juga sama pentingnya dengan pembicara, sebab dialah yang akan mengatur jalannya seminar. Pilihannya jatuh pada seorang profesor dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, sayangnya Sri Darma lupa namanya.
Masih ada satu lagi yang harus ditangani, yakni peserta seminar. Sekalipun namanya seminar internasional, namun terpaksa tidak ada peserta yang berasal dari luar negeri. Itu karena panitia tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengundang mereka datang ke Bali. Karena itu mayoritas peserta adalah kalangan internal Undiknas, dosen maupun mahasiswa. Disisipi pula sejumlah dosen dari universitas lain di Bali.
Semua peserta memasang wajah serius ketika seminar sedang berlangsung. Itu menggambarkan mereka sedang mendengarkan setiap materi yang disampaikan para pembicara. Sampai akhirnya dibuka sesi tanya jawab, barulah terlihat siapa yang menyimak betul isi seminar.
Sri Darma tampak cemas, jangan-jangan tidak ada peserta seminar yang mengajukan pertanyaan. Ternyata ada sejumlah mahasiswa Undiknas yang mengacungkan tangan untuk diberikan kesempatan melontarkan pertanyaan.
Awalnya terbersit kebanggaan pada diri Sri Darma. Bangga karena sang mahasiswa memerhatikan betul isi dari seminar. Lebih-lebih lagi, mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Namun kebanggaannya itu sedikit berkurang, setelah mendengarkan materi pertanyaan mereka.
"Salah satu pembicara dari luar negeri sempat bertanya pada saya, apakah yang bertanya itu mahasiswa? Saya jawab iya. Pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa itu sangat dasar sekali. Bukan sebuah analisis. Barangkali mereka hanya ingin sekedar bertanya untuk menunjukkan kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Tapi setidaknya mereka sudah berani berbicara."
Sekalipun sesi tanya jawab tak terbilang sukses melahirkan diskusi yang seru, tidak lantas mengurangi kualitas dan kelancaran pelaksanaan seminar internasional yang berlangsung dari 22-23 Maret 1999 itu. Semuanya berjalan lancar. Sang rektor pun sampai menaruh rasa bahagia melihat keberhasilan Sri Darma melaksanakan seminar sebagai tugas pertamanya selaku PR IV.
Jika ada istilah tugas pertama, pastilah sudah menanti tugas-tugas berikutnya. Benar saja, setelah seminar internasional itu, Sri Darma dihadapkan pada tugas yang tak main-main oleh Rektor Undiknas. Dia diminta mulai memikirkan langkah-langkah membuka kelas internasional di Undiknas.
"Menurut saya, kelas internasional itu adalah proses belajar dan mengajar yang semuanya memakai bahasa Inggris. Dosen yang mengajar pun harus memakai bahasa Inggris. Tidak lagi menggunakan kurikulum nasional, melainkan internasional. Buku-buku yang dipakai akan langsung didatangkan dari luar negeri."
Langkah pertama yang harus dilakukannya pun terbayang, yakni merancang Memorandum of Understanding (MoU) dengan banyak lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Tampaknya kerja sama antar lembaga yang dibangun oleh Sri Darma akan membuahkan hasil yang baik, terutama setelah begitu banyak perguruan tinggi dalam maupun luar negeri yang bersedia diajak menjalin MoU. Kenyataannya memang seperti itu. Hanya saja untuk pelaksanaannya belum adanya sumber daya manusia yang berkompeten untuk membantunya menjalankan program kelas internasional.
Rupanya bukan hanya sumber daya manusia yang belum siap, sarana penunjang lainnya pun mengalami hal yang sama. Sama-sama belum siap untuk membuka kelas internasional. Segala ketidaksiapan ini lantas dilaporkan oleh Sri Darma kepada Rektor Undiknas.
"Ruangan belajar lengkap dengan fasilitas internet belum cukup memadai. Tidak ada perpustakaan dengan buku-buku kualitas internasional. Selain itu, mahasiswa yang berniat masuk kelas internasional hanya 16 orang (Keenambelas orang yang sudah mendaftar di kelas internasional Undiknas adalah mereka yang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Bali. Mereka sangat paham tentang pendidikan yang berkualitas). Kalau setiap mahasiswa hanya dibebani uang SPP sekitar 2 sampai 3 jua rupiah per semester, itu tidak akan mencukupi biaya pengeluaran operasi. Lain halnya kalau mahasiswa yang mendaftar jumlahnya banyak.
"Terus solusinya bagaimana?"
"Ditutup saja untuk tahun ini. Kita coba lagi buka tahun depan. Namun kita harus tetap memperkenalkan program ini kepada masyarakat."
Rektor Undiknas menyetujui solusi yang diajukan Sir Darma. Sambil berharap gaung dibukanya kelas internasional di Undiknas mendapat respon positif, khususnya masyarakat Bali. Harapan itu tidak terwujud, rupanya minat mahasiswa kuliah di kelas internasional masih rendah. Terbukti dengan merosotnya jumlah pendaftar di tahun kedua, tahun 2000 yang hanya 10 orang.
Realitas tersebut memaksa Undiknas harus melupakan sejenak impian membuka kelas internasional.
"Barangkali Undiknas memang belum berjodoh untuk membuka kelas internasional. Bahkan sampai sekarang -tahun 2014- Undiknas belum memiliki kelas internasional. Kalau saja Undiknas bisa membuka kelas internasional, pasti ini akan menjadi embrio dalam perkembangan dunia pendidikan di Bali."
Andaikan kelas internasional itu jadi dibuka, Sri Darma akan senang sekali, sebab saat itu dia sudah menyandang gelar D.B.A. Itu berarti dia akan dapat berpartisipasi sebagai pengajar. Sri Darma secara resmi sudah menyandang gelar D.B.A pada bulan September 1999. Sedangkan berita kelulusannya sudah menjadi wacana internal di Undiknas pada bulan Mei 1999, setelah dia memperoleh sepucuk surat keputusan dari Southern Cross University yang berisikan hasil penilaian tesisnya. Sri Darma segera merespon penilaian tim penguji tesisnya, ternyata masih ada bagian yang harus diperbaiki.
Pada sejumlah kandidat, keharusan membuat revisi sering kali menjadi sumber masalah, sebab dia sudah disibukkan oleh tugas-tugasnya di kampus. Proses revisi pun menjadi tersendat-sendat. Karena itu ada keinginan berangkat kembali ke Australia dengan biaya sendiri dan melakukan revisi di kampusnya.
Namun Sri Darma tidak mengambil keputusan seperti itu. Dia memutuskan memilih menyelesaikan proses revisi tesisnya di Bali, di tengah-tengah melaksanakan tugasnya sebagai PR IV. Hasil revisinya lantas dikirim ke pihak yang berwenang di kampusnya untuk memperoleh keputusan dan mendapatkan penganugerahan gelar final.
Selanjutnya, kalau ingin boleh mengikuti wisuda. Biasanya banyak juga orang yang sudah terlanjur tinggal di negerinya tidak mau lagi datang ke Australia hanya untuk mengikuti wisuda, seringkali karena faktor biaya. Namun Sri Darma memutuskan akan kembali le Australia untuk mengikuti wisuda. Sebab jauh sebelumnya dia sudah menyiapkan dana untuk merayakan momen yang sangat istimewa itu.
Namun Sri Darma tidak mau merayakannya sendiri, melainkan harus bersama dengan sang kekasih, Ni Luh Komang Devi Pramesti. Karena itu dia segera menikah. Sesuai dengan janjinya, sang kekasih yang telah resmi menjadi istrinya ini lantas diajak serta pergi ke Australia untuk menemani dan menyaksikannya menerima gelar D.B.A. Rupanya kepergian Sri Darma ke Australia tak sekedar hanya untuk menghadiri acara wisuda, tapi sekaligus pula berbulan madu.
Bulan madu di negeri Kangguru hanya berlangsung selama dua minggu. Sekalipun ada keinginan untuk lebih lama lagi, namun Sri Darma merasa tidak enak terlalu lama meninggalkan kewajibannya sebagai PR IV. Dua minggu berlalu, Sri Darma dan istri segera pulang ke Bali. Melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Sri Darma kembali ke rutinitas pekerjaan sebagai PR IV, antara lain menjalin banyak kerja sama dengan berbagai pihak untuk kemajuan Undiknas. Salah satunya dengan Pemerintah Daerah Bali. Sri Darma pun merasakan dirinya hanya berkutat dari MoU ke MoU. "Sebagai PR IV, tugas saya ya membuat MoU," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Lagi pula Sri Darma harus memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab kegiatan dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan supaya seminar internasional tersebut bisa segera terwujud. Termasuk pula menentukan tema seminar yang bukan hanya menarik perhatian, tapi juga sesuai dengan kondisi saat itu.
Terciptalah tema mengenai "Menyongsong Era Milenium." Selanjutnya tinggal menentukan para pembicaranya. Sri Darma lantas menghubungi seorang dosen di Southern Cross University. Memintanya agar bersedia menjadi pembicara dalam seminar internasional yang akan diselenggarakan oleh Undiknas. Dia juga mengundang pembicara dari International Labour Organization (ILO). Keduanya menyatakan bersedia menjadi pembicara. Supaya seminar itu lebih hidup, maka disiapkan pula pembicara dari dalam negeri. Pihak Undiknas lantas memercayakan posisi itu kepada Sri Darma dan Kiskinda.
Selanjutnya tinggal memilih moderator. Keberadaan moderator juga sama pentingnya dengan pembicara, sebab dialah yang akan mengatur jalannya seminar. Pilihannya jatuh pada seorang profesor dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, sayangnya Sri Darma lupa namanya.
Masih ada satu lagi yang harus ditangani, yakni peserta seminar. Sekalipun namanya seminar internasional, namun terpaksa tidak ada peserta yang berasal dari luar negeri. Itu karena panitia tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengundang mereka datang ke Bali. Karena itu mayoritas peserta adalah kalangan internal Undiknas, dosen maupun mahasiswa. Disisipi pula sejumlah dosen dari universitas lain di Bali.
Semua peserta memasang wajah serius ketika seminar sedang berlangsung. Itu menggambarkan mereka sedang mendengarkan setiap materi yang disampaikan para pembicara. Sampai akhirnya dibuka sesi tanya jawab, barulah terlihat siapa yang menyimak betul isi seminar.
Sri Darma tampak cemas, jangan-jangan tidak ada peserta seminar yang mengajukan pertanyaan. Ternyata ada sejumlah mahasiswa Undiknas yang mengacungkan tangan untuk diberikan kesempatan melontarkan pertanyaan.
Awalnya terbersit kebanggaan pada diri Sri Darma. Bangga karena sang mahasiswa memerhatikan betul isi dari seminar. Lebih-lebih lagi, mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Namun kebanggaannya itu sedikit berkurang, setelah mendengarkan materi pertanyaan mereka.
"Salah satu pembicara dari luar negeri sempat bertanya pada saya, apakah yang bertanya itu mahasiswa? Saya jawab iya. Pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa itu sangat dasar sekali. Bukan sebuah analisis. Barangkali mereka hanya ingin sekedar bertanya untuk menunjukkan kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Tapi setidaknya mereka sudah berani berbicara."
Sekalipun sesi tanya jawab tak terbilang sukses melahirkan diskusi yang seru, tidak lantas mengurangi kualitas dan kelancaran pelaksanaan seminar internasional yang berlangsung dari 22-23 Maret 1999 itu. Semuanya berjalan lancar. Sang rektor pun sampai menaruh rasa bahagia melihat keberhasilan Sri Darma melaksanakan seminar sebagai tugas pertamanya selaku PR IV.
Jika ada istilah tugas pertama, pastilah sudah menanti tugas-tugas berikutnya. Benar saja, setelah seminar internasional itu, Sri Darma dihadapkan pada tugas yang tak main-main oleh Rektor Undiknas. Dia diminta mulai memikirkan langkah-langkah membuka kelas internasional di Undiknas.
"Menurut saya, kelas internasional itu adalah proses belajar dan mengajar yang semuanya memakai bahasa Inggris. Dosen yang mengajar pun harus memakai bahasa Inggris. Tidak lagi menggunakan kurikulum nasional, melainkan internasional. Buku-buku yang dipakai akan langsung didatangkan dari luar negeri."
Langkah pertama yang harus dilakukannya pun terbayang, yakni merancang Memorandum of Understanding (MoU) dengan banyak lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Tampaknya kerja sama antar lembaga yang dibangun oleh Sri Darma akan membuahkan hasil yang baik, terutama setelah begitu banyak perguruan tinggi dalam maupun luar negeri yang bersedia diajak menjalin MoU. Kenyataannya memang seperti itu. Hanya saja untuk pelaksanaannya belum adanya sumber daya manusia yang berkompeten untuk membantunya menjalankan program kelas internasional.
Rupanya bukan hanya sumber daya manusia yang belum siap, sarana penunjang lainnya pun mengalami hal yang sama. Sama-sama belum siap untuk membuka kelas internasional. Segala ketidaksiapan ini lantas dilaporkan oleh Sri Darma kepada Rektor Undiknas.
"Ruangan belajar lengkap dengan fasilitas internet belum cukup memadai. Tidak ada perpustakaan dengan buku-buku kualitas internasional. Selain itu, mahasiswa yang berniat masuk kelas internasional hanya 16 orang (Keenambelas orang yang sudah mendaftar di kelas internasional Undiknas adalah mereka yang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Bali. Mereka sangat paham tentang pendidikan yang berkualitas). Kalau setiap mahasiswa hanya dibebani uang SPP sekitar 2 sampai 3 jua rupiah per semester, itu tidak akan mencukupi biaya pengeluaran operasi. Lain halnya kalau mahasiswa yang mendaftar jumlahnya banyak.
"Terus solusinya bagaimana?"
"Ditutup saja untuk tahun ini. Kita coba lagi buka tahun depan. Namun kita harus tetap memperkenalkan program ini kepada masyarakat."
Rektor Undiknas menyetujui solusi yang diajukan Sir Darma. Sambil berharap gaung dibukanya kelas internasional di Undiknas mendapat respon positif, khususnya masyarakat Bali. Harapan itu tidak terwujud, rupanya minat mahasiswa kuliah di kelas internasional masih rendah. Terbukti dengan merosotnya jumlah pendaftar di tahun kedua, tahun 2000 yang hanya 10 orang.
Realitas tersebut memaksa Undiknas harus melupakan sejenak impian membuka kelas internasional.
"Barangkali Undiknas memang belum berjodoh untuk membuka kelas internasional. Bahkan sampai sekarang -tahun 2014- Undiknas belum memiliki kelas internasional. Kalau saja Undiknas bisa membuka kelas internasional, pasti ini akan menjadi embrio dalam perkembangan dunia pendidikan di Bali."
Andaikan kelas internasional itu jadi dibuka, Sri Darma akan senang sekali, sebab saat itu dia sudah menyandang gelar D.B.A. Itu berarti dia akan dapat berpartisipasi sebagai pengajar. Sri Darma secara resmi sudah menyandang gelar D.B.A pada bulan September 1999. Sedangkan berita kelulusannya sudah menjadi wacana internal di Undiknas pada bulan Mei 1999, setelah dia memperoleh sepucuk surat keputusan dari Southern Cross University yang berisikan hasil penilaian tesisnya. Sri Darma segera merespon penilaian tim penguji tesisnya, ternyata masih ada bagian yang harus diperbaiki.
Pada sejumlah kandidat, keharusan membuat revisi sering kali menjadi sumber masalah, sebab dia sudah disibukkan oleh tugas-tugasnya di kampus. Proses revisi pun menjadi tersendat-sendat. Karena itu ada keinginan berangkat kembali ke Australia dengan biaya sendiri dan melakukan revisi di kampusnya.
Namun Sri Darma tidak mengambil keputusan seperti itu. Dia memutuskan memilih menyelesaikan proses revisi tesisnya di Bali, di tengah-tengah melaksanakan tugasnya sebagai PR IV. Hasil revisinya lantas dikirim ke pihak yang berwenang di kampusnya untuk memperoleh keputusan dan mendapatkan penganugerahan gelar final.
Selanjutnya, kalau ingin boleh mengikuti wisuda. Biasanya banyak juga orang yang sudah terlanjur tinggal di negerinya tidak mau lagi datang ke Australia hanya untuk mengikuti wisuda, seringkali karena faktor biaya. Namun Sri Darma memutuskan akan kembali le Australia untuk mengikuti wisuda. Sebab jauh sebelumnya dia sudah menyiapkan dana untuk merayakan momen yang sangat istimewa itu.
Namun Sri Darma tidak mau merayakannya sendiri, melainkan harus bersama dengan sang kekasih, Ni Luh Komang Devi Pramesti. Karena itu dia segera menikah. Sesuai dengan janjinya, sang kekasih yang telah resmi menjadi istrinya ini lantas diajak serta pergi ke Australia untuk menemani dan menyaksikannya menerima gelar D.B.A. Rupanya kepergian Sri Darma ke Australia tak sekedar hanya untuk menghadiri acara wisuda, tapi sekaligus pula berbulan madu.
Bulan madu di negeri Kangguru hanya berlangsung selama dua minggu. Sekalipun ada keinginan untuk lebih lama lagi, namun Sri Darma merasa tidak enak terlalu lama meninggalkan kewajibannya sebagai PR IV. Dua minggu berlalu, Sri Darma dan istri segera pulang ke Bali. Melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Sri Darma kembali ke rutinitas pekerjaan sebagai PR IV, antara lain menjalin banyak kerja sama dengan berbagai pihak untuk kemajuan Undiknas. Salah satunya dengan Pemerintah Daerah Bali. Sri Darma pun merasakan dirinya hanya berkutat dari MoU ke MoU. "Sebagai PR IV, tugas saya ya membuat MoU," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017