Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Kokohnya Benteng Pertahanan
Keinginan kuliah sambil bekerja sudah terpenuhi. Sri Darma senang karenanya. Namun di tengah-tengah kebahagiaan hatinya, ada sesuatu yang mengusiknya, homesick, rindu kampung halaman. Tidak hanya Sri Darma, semua orang yang tinggal di perantauan, terpisah dari orang-orang yang disayang, pasti akan punya rasa rindu pada kampung halaman. Hanya tebal tipisnya yang berbeda. Sebab manusia itu bagaikan burung-burung, setinggi-tingginya terbang, pada akhirnya kembali juga ke sarangnya.
Jika burung punya sarang, manusia punya rumah. Namun bagi Sri Darma dan sebagian besar orang Bali-Hindu, rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal. Lebih dari itu, rumah adalah sebuah ikatan kultural dan sejarah. Di dalamnya ada Sanggah di sebut pula Dadia. Artinya sama dengan kuil keluarga, tempat memuja leluhur yang telah dikeramatkan menurut adat agama Hindu. Para pemujanya adalah orang-orang yang tergolong tunggal dadia atau sanggah. Mereka satu keturunan yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan juga dalam kasta.
Orang-orang yang satu keturunan itu, yang terpisah jarak jauh, ketika pulang ke kampung halamannya, pasti juga akan menuju dadia atau sanggah masing-masing untuk memuja. Memuja berarti mengucapkan terima kasih kepada semua leluhur karena telah memberikan perlindungan dalam berbagai hal. Sedangkan bagi mereka yang tidak merantau, dadia atau sanggah akan selalu menjadi tempat pertemuan setiap enam bulan sekali, 210 hari. Untuk bersama-sama merayakan piodalan, menyambut kelahiran kuil keluarga, yang merupakan hari bersejarah ketika para leluhur mulai tinggal di rumah itu. Selain piodalan, pertemuan rutin anggota keluarga juga terjadi pada setiap hari raya Galungan dan Kuningan, yang berulang setiap 210 hari sekali.
Baik pada saat perayaan piodalan maupun Galungan dan Kuningan, sanggah atau dadia menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak. Terutama sesudah pelaksanaan upacara selesai. Semua sesajen sudah bisa dinikmati secara bebas; daging, ayam, ketupat, serundeng, kacang-kacang, beraneka jajan pasar, dan aneka buah-buahan segar. Berburu uang sesari yang terselip di antara tumpukan canang merupakan sisi lain dari nikmatnya suatu perayaan ritual di sanggah atau dadia. Lebih-lebih lagi pada saat Galungan, uang-uang yang diperoleh dari tumpukan canang, bisa dijadikan bekal untuk berbelanja pada hari Umanis Galungan. Berbelanja secara bebas dengan mengenakan celana dan baju baru merupakan kenangan lain di Umanis Galungan.
Relatif tidak ada orang Bali-Hindu yang bisa melupakan begitu saja kenangan indahnya di masa kecil, baik pada saat piodalan maupun Galungan dan Kuningan. Namun, kala itu kenangan indah Sri Darma yang membuatnya rindu pada kampung halaman tidak berhenti hingga di situ. Pada layar lebar memorinya seperti berputar adegan masa-masa dia bersekolah, di TK, SD, SMP, dan SMA. Di sela-sela itu, orang tuanya begitu setia mendampingi, menuntunnya dalam menjalani kehidupan. Mengajarinya supaya bertanggung jawab dalam setiap lembar uang yang dimilikinya dan selalu mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta melalui Mantram Gayatri tiga kali dalam sehari.
Lebih dari ini, kenangan indah bersama dengan sang kekasih, Ni Luh Komang Devi Pramesti, terutama pada hari-hari terakhir menjelang keberangkatan kembali membuat benteng pertahanan Sri Darma untuk bertahan terus di Australia jadi rapuh, namun belum sampai runtuh. Sebab di balik kenangan yang serba indah itu tersuntik pesan dari sang kekasih, supaya Sri Darma benar-benar bisa berkonsentrasi belajar di Australia. Jangan sampai hal-hal yang sepele membuat tujuan jangka panjang itu tergerus, sebab nantinya akan berujung pada kegagalan, sehingga orang-orang yang selama ini melecehkannya, yang mengatakannya tidak akan mampu menyelesaikan studi di Australia, jadinya mempunyai bukti atas kebenaran perkataannya.
Sri Darma pun tegar kembali. Ada semacam kekuatan dan semangat untuk selalu datang ke kampus pada sore hingga pagi, dan baru berhenti ketika sedang melepas lelah di common room. Di tempat ini, Sri Darma menyatu dengan kawan-kawannya yang dari sesama international student. Sesuai dengan istilahnya, mereka berasal dari berbagai negara; Vietnam, Burma, India, Cina, Filipina, dan tentu saja Australia. Dari semua temannya itu, Sri Darma memperoleh banyak hal baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun yang paling berkesan adalah prihal ritual keagamaan dari berbagai negara.
Seorang temannya yang asal Irak bercerita mengenai jilbab. Dia mengatakan di negeri Arab pemakaian jilbab adalah bagian dari sebuah tradisi budaya. Menurut kawannya itu, pengenaan pakaian yang menutupi aurat ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Itu karena di Arab tingkat pelecehan seksual terhadap perempuan relatif tinggi. Konon, ini terjadi karena libido laki-laki Arab relatif tinggi. Jadinya, apabila melihat perempuan, apalagi yang berparas cantik dan bertubuh seksi pasti akan memunculkan hasrat untuk melakukan pelecehan seksual. Karena itu, wanita-wanita Arab sengaja menutupi auratnya supaya tidak menjadi sasaran pelecehan. Lantas seiring berjalannya waktu, tradisi jilbab menyebar ke banyak negara, terutama yang ada umat Islamnya. Salah satunya Indonesia. Karena itu, menurut kawannya itu, tidak semestinya orang Indonesia ikut-ikutan memakai jilbab, sebab itu bukan pakaian muslim, melainkan bagian dari budaya orang Arab Saudi.
Beda dengan yang asal Irak, temannya dari Australia punya kisah mengenai Natal. Kisah ini bermula dari rasa penasaran Sri Darma melihat ulah kawannya. Dalam kesehariannya itu, sang teman tidak pernah berbincang tentang pengalaman spiritual dan semua orang sudah mengetahui kalau dia tidak datang ke gereja untuk berdoa. Namun dia sangat bersuka ria pada saat merayakan Natal. Sri Darma pun bertanya,
"Aku tidak pernah melihat kamu sembahyang di gereja. Tapi kenapa kamu merayakan Natal dengan memasang christmas tree di rumah?"
"Wow ... itu perayaan Natal merupakan budaya orang-orang Inggris di Australia."
"Berarti tidak ada unsur agama ya?"
"Tidak ada sama sekali. Saya percaya Tuhan, tapi saya tidak harus pergi ke Gereja, karena bersembahyang di rumah saja sudah cukup."
Pengakuan temannya itu, membuat Sri Darma bertanya dalam hati, bagaimana bisa ada orang yang tidak memiliki agama, namun bisa merayakan Natal. Namun dia tidak mau menjeneralisir, bahwa semua orang Australia punya pendapat dan sikap seperti itu. Dugaannya benar, sebab pada akhirnya dia bertemu dengan orang Australia yang sangat religius. Dia mengaku beragama Katolik. Kawannya yang satu ini sangat tekun menjalankan setiap ajaran agamanya. Dia tidak saja hafal sepuluh perintah dari Allah, tapi juga konsisten melaksanakannya. Karena itu dia tidak mau berhubungan seks sebelum menikah dan juga tidak mau berbohong.
"Kawan saya ini sangat ekslusif. Dia menjalankan agama Katolik dengan benar," kenang Sri Darma.
Jadi, Sri Darma telah bertemu dengan teman-teman yang berbeda pandangan dan sikap mengenai agama. Ada yang sangat ketat menjalankan ajaran agamanya, ada pula yang justru tidak menganut satu agama apapun, keduanya adalah teman Sri Darma. Temannya yang tidak beragama itu, ternyata bukan hanya berasal dari Australia, sebab ada pula yang dari Vietnam. Sri Darma baru mengetahui ketika secara iseng-iseng bertanya tentang agama yang dianutnya. Dia menjawab dirinya tidak menganut agama apa pun. Sri Darma bingung sekaligus penasaran.
"Kalau misalnya sakit, apakah kamu tidak berdoa pada Tuhan agar diberikan kesehatan?"
"Apa gunanya. Kalau sakit, ya itu karena kesalahan saya sendiri. Kalau sakit perut, itu berarti saya salah makan. Kalau sakit mata, berarti saya tidak menjaga mata saya dengan baik. Sakit itu kan merupakan sesuatu yang alamiah. Terciptanya manusia juga karena kejadian alam. Termasuk tata surya juga kejadian alam."
Masih belum puas dengan konsep berpikir temannya itu, Sri Darma terus bertanya, "Terus kalau kamu ingin lulus ujian, pasti besok kamu akan berdoa dengan hening!!"
"Itu tidak benar. Tujuan berdoa ya untuk mendapatkan keheningan. Bukan untuk lulus ujian. Kalau kamu tidak membuat masalah, hidupmu pasti tenang. Sebaliknya, kalau kamu punya musuh, berarti kamu sendiri yang sudah membuat masalah."
Perlahan, Sri Darma mulai mengerti apa yang menjadi pola pikir temannya itu. Terpenting di dunia ini adalah bagaimana caranya memperoleh ketenangan.
"Tidak penting lagi memperdebatkan seorang beragama ataupun tidak. Terpenting adalah dia berbuat baik, tidak punya musuh, dan tidak suka berbohong. Kalau hal itu sudah dilakukan, ketenangan akan dengan mudah diperoleh. Dengan ketenangan, seseorang pasti bisa melakukan banyak hal yang positif. Di sinilah akhirnya saya memperoleh titik temu antara orang yang menganut agama dengan yang tidak, yaitu sama-sama ingin mencari ketenangan."
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Kokohnya Benteng Pertahanan
Keinginan kuliah sambil bekerja sudah terpenuhi. Sri Darma senang karenanya. Namun di tengah-tengah kebahagiaan hatinya, ada sesuatu yang mengusiknya, homesick, rindu kampung halaman. Tidak hanya Sri Darma, semua orang yang tinggal di perantauan, terpisah dari orang-orang yang disayang, pasti akan punya rasa rindu pada kampung halaman. Hanya tebal tipisnya yang berbeda. Sebab manusia itu bagaikan burung-burung, setinggi-tingginya terbang, pada akhirnya kembali juga ke sarangnya.
Jika burung punya sarang, manusia punya rumah. Namun bagi Sri Darma dan sebagian besar orang Bali-Hindu, rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal. Lebih dari itu, rumah adalah sebuah ikatan kultural dan sejarah. Di dalamnya ada Sanggah di sebut pula Dadia. Artinya sama dengan kuil keluarga, tempat memuja leluhur yang telah dikeramatkan menurut adat agama Hindu. Para pemujanya adalah orang-orang yang tergolong tunggal dadia atau sanggah. Mereka satu keturunan yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan juga dalam kasta.
Orang-orang yang satu keturunan itu, yang terpisah jarak jauh, ketika pulang ke kampung halamannya, pasti juga akan menuju dadia atau sanggah masing-masing untuk memuja. Memuja berarti mengucapkan terima kasih kepada semua leluhur karena telah memberikan perlindungan dalam berbagai hal. Sedangkan bagi mereka yang tidak merantau, dadia atau sanggah akan selalu menjadi tempat pertemuan setiap enam bulan sekali, 210 hari. Untuk bersama-sama merayakan piodalan, menyambut kelahiran kuil keluarga, yang merupakan hari bersejarah ketika para leluhur mulai tinggal di rumah itu. Selain piodalan, pertemuan rutin anggota keluarga juga terjadi pada setiap hari raya Galungan dan Kuningan, yang berulang setiap 210 hari sekali.
Baik pada saat perayaan piodalan maupun Galungan dan Kuningan, sanggah atau dadia menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak. Terutama sesudah pelaksanaan upacara selesai. Semua sesajen sudah bisa dinikmati secara bebas; daging, ayam, ketupat, serundeng, kacang-kacang, beraneka jajan pasar, dan aneka buah-buahan segar. Berburu uang sesari yang terselip di antara tumpukan canang merupakan sisi lain dari nikmatnya suatu perayaan ritual di sanggah atau dadia. Lebih-lebih lagi pada saat Galungan, uang-uang yang diperoleh dari tumpukan canang, bisa dijadikan bekal untuk berbelanja pada hari Umanis Galungan. Berbelanja secara bebas dengan mengenakan celana dan baju baru merupakan kenangan lain di Umanis Galungan.
Relatif tidak ada orang Bali-Hindu yang bisa melupakan begitu saja kenangan indahnya di masa kecil, baik pada saat piodalan maupun Galungan dan Kuningan. Namun, kala itu kenangan indah Sri Darma yang membuatnya rindu pada kampung halaman tidak berhenti hingga di situ. Pada layar lebar memorinya seperti berputar adegan masa-masa dia bersekolah, di TK, SD, SMP, dan SMA. Di sela-sela itu, orang tuanya begitu setia mendampingi, menuntunnya dalam menjalani kehidupan. Mengajarinya supaya bertanggung jawab dalam setiap lembar uang yang dimilikinya dan selalu mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta melalui Mantram Gayatri tiga kali dalam sehari.
Lebih dari ini, kenangan indah bersama dengan sang kekasih, Ni Luh Komang Devi Pramesti, terutama pada hari-hari terakhir menjelang keberangkatan kembali membuat benteng pertahanan Sri Darma untuk bertahan terus di Australia jadi rapuh, namun belum sampai runtuh. Sebab di balik kenangan yang serba indah itu tersuntik pesan dari sang kekasih, supaya Sri Darma benar-benar bisa berkonsentrasi belajar di Australia. Jangan sampai hal-hal yang sepele membuat tujuan jangka panjang itu tergerus, sebab nantinya akan berujung pada kegagalan, sehingga orang-orang yang selama ini melecehkannya, yang mengatakannya tidak akan mampu menyelesaikan studi di Australia, jadinya mempunyai bukti atas kebenaran perkataannya.
Sri Darma pun tegar kembali. Ada semacam kekuatan dan semangat untuk selalu datang ke kampus pada sore hingga pagi, dan baru berhenti ketika sedang melepas lelah di common room. Di tempat ini, Sri Darma menyatu dengan kawan-kawannya yang dari sesama international student. Sesuai dengan istilahnya, mereka berasal dari berbagai negara; Vietnam, Burma, India, Cina, Filipina, dan tentu saja Australia. Dari semua temannya itu, Sri Darma memperoleh banyak hal baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun yang paling berkesan adalah prihal ritual keagamaan dari berbagai negara.
Seorang temannya yang asal Irak bercerita mengenai jilbab. Dia mengatakan di negeri Arab pemakaian jilbab adalah bagian dari sebuah tradisi budaya. Menurut kawannya itu, pengenaan pakaian yang menutupi aurat ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Itu karena di Arab tingkat pelecehan seksual terhadap perempuan relatif tinggi. Konon, ini terjadi karena libido laki-laki Arab relatif tinggi. Jadinya, apabila melihat perempuan, apalagi yang berparas cantik dan bertubuh seksi pasti akan memunculkan hasrat untuk melakukan pelecehan seksual. Karena itu, wanita-wanita Arab sengaja menutupi auratnya supaya tidak menjadi sasaran pelecehan. Lantas seiring berjalannya waktu, tradisi jilbab menyebar ke banyak negara, terutama yang ada umat Islamnya. Salah satunya Indonesia. Karena itu, menurut kawannya itu, tidak semestinya orang Indonesia ikut-ikutan memakai jilbab, sebab itu bukan pakaian muslim, melainkan bagian dari budaya orang Arab Saudi.
Beda dengan yang asal Irak, temannya dari Australia punya kisah mengenai Natal. Kisah ini bermula dari rasa penasaran Sri Darma melihat ulah kawannya. Dalam kesehariannya itu, sang teman tidak pernah berbincang tentang pengalaman spiritual dan semua orang sudah mengetahui kalau dia tidak datang ke gereja untuk berdoa. Namun dia sangat bersuka ria pada saat merayakan Natal. Sri Darma pun bertanya,
"Aku tidak pernah melihat kamu sembahyang di gereja. Tapi kenapa kamu merayakan Natal dengan memasang christmas tree di rumah?"
"Wow ... itu perayaan Natal merupakan budaya orang-orang Inggris di Australia."
"Berarti tidak ada unsur agama ya?"
"Tidak ada sama sekali. Saya percaya Tuhan, tapi saya tidak harus pergi ke Gereja, karena bersembahyang di rumah saja sudah cukup."
Pengakuan temannya itu, membuat Sri Darma bertanya dalam hati, bagaimana bisa ada orang yang tidak memiliki agama, namun bisa merayakan Natal. Namun dia tidak mau menjeneralisir, bahwa semua orang Australia punya pendapat dan sikap seperti itu. Dugaannya benar, sebab pada akhirnya dia bertemu dengan orang Australia yang sangat religius. Dia mengaku beragama Katolik. Kawannya yang satu ini sangat tekun menjalankan setiap ajaran agamanya. Dia tidak saja hafal sepuluh perintah dari Allah, tapi juga konsisten melaksanakannya. Karena itu dia tidak mau berhubungan seks sebelum menikah dan juga tidak mau berbohong.
"Kawan saya ini sangat ekslusif. Dia menjalankan agama Katolik dengan benar," kenang Sri Darma.
Jadi, Sri Darma telah bertemu dengan teman-teman yang berbeda pandangan dan sikap mengenai agama. Ada yang sangat ketat menjalankan ajaran agamanya, ada pula yang justru tidak menganut satu agama apapun, keduanya adalah teman Sri Darma. Temannya yang tidak beragama itu, ternyata bukan hanya berasal dari Australia, sebab ada pula yang dari Vietnam. Sri Darma baru mengetahui ketika secara iseng-iseng bertanya tentang agama yang dianutnya. Dia menjawab dirinya tidak menganut agama apa pun. Sri Darma bingung sekaligus penasaran.
"Kalau misalnya sakit, apakah kamu tidak berdoa pada Tuhan agar diberikan kesehatan?"
"Apa gunanya. Kalau sakit, ya itu karena kesalahan saya sendiri. Kalau sakit perut, itu berarti saya salah makan. Kalau sakit mata, berarti saya tidak menjaga mata saya dengan baik. Sakit itu kan merupakan sesuatu yang alamiah. Terciptanya manusia juga karena kejadian alam. Termasuk tata surya juga kejadian alam."
Masih belum puas dengan konsep berpikir temannya itu, Sri Darma terus bertanya, "Terus kalau kamu ingin lulus ujian, pasti besok kamu akan berdoa dengan hening!!"
"Itu tidak benar. Tujuan berdoa ya untuk mendapatkan keheningan. Bukan untuk lulus ujian. Kalau kamu tidak membuat masalah, hidupmu pasti tenang. Sebaliknya, kalau kamu punya musuh, berarti kamu sendiri yang sudah membuat masalah."
Perlahan, Sri Darma mulai mengerti apa yang menjadi pola pikir temannya itu. Terpenting di dunia ini adalah bagaimana caranya memperoleh ketenangan.
"Tidak penting lagi memperdebatkan seorang beragama ataupun tidak. Terpenting adalah dia berbuat baik, tidak punya musuh, dan tidak suka berbohong. Kalau hal itu sudah dilakukan, ketenangan akan dengan mudah diperoleh. Dengan ketenangan, seseorang pasti bisa melakukan banyak hal yang positif. Di sinilah akhirnya saya memperoleh titik temu antara orang yang menganut agama dengan yang tidak, yaitu sama-sama ingin mencari ketenangan."
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017