Denpasar (Antara Bali) - Komunitas Pecinta Anand Ashram melaporkan Jaksa Muda Martha P Berliana kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Dr Marwan Effendy, SH, karena sebagai jaksa penuntut umum kasus Anand Krishna dinilai tidak profesional.
"Kami mempertanyakan profesionalitas dan kesungguhan JPU Martha dalam menyusun surat tuntutan dan 'replik' dalam kasus hukum Anand Krishna yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata dr Wayan Sayoga dari Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA), Jumat.
Dalam siaran pers yang disampaikan kepada ANTARA di Denpasar, disebutkan bahwa surat pelaporan terhadap JPU Martha itu ditembuskan kepada Puspo Aji selaku Komisioner Komisi Kejaksaan RI, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Donny Kadnezar Irdan, Wakil Kepala Kejati DKI Abdoel Kadiroen, SH, MH, dan Aspidum Kejati DKI Heru Sriyanto, SH.
Dalam suratnya, KPAA mempertanyakan kenapa surat tuntutan dan "replik" JPU Martha sebagian besar hanya hasil "cut and paste" dari surat dakwaan saja, yang jelas-jelas mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Sidang kasus pelecehan seksual itu telah berlangsung hampir 16 bulan dan sempat mengalami pergantian majelis hakim, sehingga perkara ini melibatkan dua majelis hakim yang berbeda.
JPU Martha dinilai secara sengaja mengabaikan kesaksian tiga orang yang dihadirkannya ke ruang persidangan. Namun saksi itu membantah melihat adanya tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh Anand Krishna terhadap seorang saksi pelapor, Tara Pradipta Laksmi.
Demikian pula kesaksian dari pihak yang meringankan. Bantahan itu, kata Sayoga, membuat kasus ini kehilangan pijakan hukum acara pidana karena hanya berdasarkan laporan pelapor tunggal yang kesaksiannya juga berubah-ubah, baik mengenai waktu maupun tempat terjadinya perkara.
Kesaksian yang berubah-ubah itu baik yang tertulis di berkas berita acara pemeriksaan (BAP), maupun yang diungkapkan di depan majelis hakim saat persidangan.
Bahkan JPU dinilai juga sengaja mengaburkan dan memutarbalikan identitas seorang saksi ahli hukum pidana dan juga Rektor Universitas Satyakancana, Cianjur, Prof Dr H Dwidja Priyatno, SH, MH, SpN. "Prof Wija sebagai seorang ahli psikiater beserta kesaksiannya terkait hipnoterapi, sebenarnya tak pernah dihadirkan di ruang persidangan," ucapnya.
Sayoga yang terus memantau persidangan dan mendampingi tim kuasa hukum Anand Krishna menilai hal itu menjadi noda tersendiri dalam sejarah hukum di Indonesia.
"Seorang JPU bisa seenaknya mengubah identitas seorang ahli hukum pidana menjadi kesaksian seorang ahli psikiater beserta penjelasannya secara rinci terkait psikologi yang sebenarnya tidak pernah terjadi di dalam ruang persidangan," ujar Sayoga menegaskan.
Dia menilai ketidakprofesionalan JPU Martha mencoreng korps kejaksaan yang saat ini sedang berbenah diri guna mewujudkan lembaga hukum yang lebih profesional dan dipercaya masyarakat.
KPAA juga mengklarifikasi tulisan JPU Martha dalam "replik" yang menyinggung kehadiran KPAA dalam setiap persidangan. Kehadiran KPAA dalam setiap persidangan untuk memantau persidangan agar tidak menyimpang dari keadilan dan kebenaran.
Selain itu juga untuk mendukung visi dan misi bersama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkesadaran berdasarkan perdamaian, cinta-kasih, dan harmoni menuju satu bumi, satu langit dan satu umat manusia, ujarnya.
Sayoga menambahkan. kehadiran KPAA pada setiap persidangan karena mereka ingin mengawal kasus hukum ini agar bisa tuntas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. "Kami tidak ingin ada lagi permainan kotor dalam persidangan ini yang tujuannya semata ingin menjatuhkan seseorang beserta visi dan misinya. Ini yang kami jaga dan pertahankan," ucapnya.(AJ)