Jakarta (Antara Bali) - Anggota Komisi XI DPR RI mendorong Pemerintah
melakukan reformasi penerimaan negara di sektor perpajakan sesuai dengan
prinsip revolusi mental yang digelorakan oleh Presiden Joko Widodo.
"Pajak adalah instrumen terpenting penerimaan negara. Dalam
prakteknya, masih banyak persoalan dalam optimalisasi penerimaan pajak
seperti kurangnya kesadaran wajib pajak serta kurang siapnya aparat di
kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak," kata Mukhammad Misbakhun, di
Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Menurut Misbakhun, kemandirian Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
sebagai institusi yang mandiri itu bagian dari Revolusi Mental
sebagaimana cita-cita Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Nawacita,
Trisakti, maupun Rencana Jangka Panjang Menengah (RJPM).
Selama ini, kata Misbakhun, Indonesia dikategorikan dalam kelompok
"lower middle income countries" yang memiliki rasio pajak rendah.
Data 2015, rasio pajak Indonesia adalah 10,47 persen, di bawah
rata-rata rasio pajak negara-negara "lower middle income countries"
yang mencapai 17,7 persen.
"Rendahnya rasio pajak menunjukkan masih rendahnya kesadaran
masyarakat dalam membayar pajak, serta kemampuan Pemerintah dalam
menggali sumber penerimaan pajak dari sektor-sektor ekonomi belum
optimal," kata Misbakhun.
Politisi Partai Golkar ini menyebutkan, dari total perbandingan
antara besarnya pajak yang dipungut dengan besarnya potensi pajak yang
hanya mencapai 55 persen, jauh dari angka maksimal 70 persen.
Rendahnya penerimaan pajak itu, katanya, berdampak terhadap
kebijakan fiskal terutama pembiayaan program strategis seperti, jaminan
sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Menurut Misbakhun, salah satu faktor belum optimalnya penerimaan
pajak disebabkan masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia di DJP.
"Secara kapasitas dan beban kerja, saat ini kondisinya sangat tidak
layak. Rasio pegawai pajak dengan penduduk di Indonesia saat ini
mencapai 1:7.700," katanya.
Fakta tersebut, kata dia, sangat jauh dibandingkan Jerman, yang
efektivitas kelembagaan perpajakannya sangat optimal dengan rasio
pegawai pajak dan penduduk hanya sekitar 1:727.
"DJP selama ini sudah melakukan upaya penguatan institusi dengan
tambahan pegawai dan infrastruktur, namun perkembangannya belum
optimal," ujarnya.
Misbakhun menambahkan, DJP dengan tugas penerimaan pajak yang besar,
kelembagaannya hanya berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan
sebagai turunan Peraturan Presiden tentang Struktur Organisasi
Kementerian.
Padahal, kata dia, setiap berganti kabinet maka berganti juga Perpresnya.
"Padahal, UUD 1945 menyebutkan bahwa perpajakan diatur lebih lanjut
dalam undang-undang. Saat ini subtansi pajak sudah diatur dalam UU
seperti UU KUP, UU PPH dan UU PPN," katanya.
Dalam konteks itu, kata dia, DJP belum memperoleh kewenangan dalam mengatur SDM, organisasi. dan anggaran sendiri.
DJP sebagai otoritas pajak, katanya, masih dikelompokkan sebagai "single directorate in ministry of finance". (WDY)
Misbakhun Dorong Pemerintah Reformasi Sektor Perpajakan
Selasa, 22 November 2016 8:30 WIB