Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar selama ini selalu mendapat kepercayaan dalam memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan Pulau Dewata yang digelar berkesinambungan setiap tahun, kali ini memasuki ke-38 (1978-2016).
Lembaga pendidikan tinggi seni itu selain tampil pada pawai budaya yang dilepas Presiden Joko Widodo, Sabtu (11/6) petang, juga pentas perdana dari ratusan "seka kesenian" dari delapan kabupaten, satu kota di Bali, di samping partisipasi grup kesenian tingkat nasional dan internasional yang berlangsung selama sebulan penuh, 11 Juni-9 Juli 2016.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan membuka Pesta Kesenian Bali ke-38 di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar yang diwarnai dengan penampilan oratorium yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat Bali, Sabtu malam.
Oratorium itu berjudul "Sri Markandeya Bhumi Sudha" sesuai dengan tema PKB kali ini "Karang Awak" yakni mencintai Tanah Kelahiran yang dipersiapkan secara apik melibatkan ratusan mahasiswa dan dosen ISI Denpasar, tutur Rektor ISI Denpasar, Dr I Gede Arya Sugiartha, S.Skar, M.Hum.
Garapan sendratari yang selalu dinanti-nantikan masyarakat dipersiapkan secara khusus sejak sebulan yang lalu di sela-sela kesibukan melaksanakan proses belajar mengajar, dengan harapan mampu tampil maksimal dapat menarik perhatian masyarakat Bali, nasional maupun internasional.
Sebelum pelatihan diawali dengan pengayaan cerita dan membagi babak per babak diangkat dari cerita Mahabharata yang seluruhnya dalam tiga babak berdurasi selama satu jam.
Di tengah untaian Jambrut Khatulistiwa, berbinar secercah mustika mempesona. Itulah Pulau Bali, yang sejak zaman dahulu hingga sekarang tak pernah lekang mengundang perhatian masyarakat mancanegara.
Lima jenis logam (pancadatu) yang dibenamkan di pertiwi Bali pada abad ke-8 masehi oleh Resi Markandeya, adalah awal berseminya kasih Hyang Widhi pada rakyat insani Bali, dalam wujud anugerah alam nan indah, kesenian yang luhur, serta wajah budaya yang berkeadaban.
Kini, di era global, kemilau Pulau Bali kian monumental. Mutumanikam kesenian Bali menjadi mozaik kebhinekaan ekspresi luhur budaya Nusantara. Jagat seni yang senantiasa berdenyut dan menggeliat di Pulau Dewata, memercikkan tenggang rasa kedamaian berbangsa yang terejawantah dalam spirit cinta tanah air, tumpah darah kita: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pementasan sendratari mengawali pelaksanaan PKB ke-38 dalam babak pertama (Siwam) diceritakan, pada abad ke-8 masehi, seorang tokoh spiritual asal India, Resi Markandeya, terpesona dengan aura suci Pulau Bali. Di kaki Toh Langkir (Gunung Agung), beliau menanam lima jenis logam (pancadatu) untuk menjaga ketenteraman Pulau Dewata.
Sejak itu rakyat Bali hidup damai dengan beragam keindahan seni dalam persembahan keagamaannya. Namun seorang raja congkak, Mayadawa, yang berkuasa di Bali pada abad ke-9 Masehi, melarang rakyatnya menyembah Tuhan.
Untuk mengembalikan keharmonisan Pulau Bali, Hyang Siwa mengutus Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi menumpas kezaliman dan mengawal kehidupan di bumi, tutur Dr I Kadek Suartaya, salah seorang dosen ISI dalam pementasan tersebut bertindak sebagai penata narator.
Babak kedua
Pementasan sendratari yang mendapat perhatian besar dari masyarakat Bali yang memadati panggung terbuka yang berkapasitas 8.000-9.000 penonton itu dilanjutkan dengan babak kedua (Satyam).
Dalam babak kedua ini diceritakan pada abad ke-15 Masehi, adalah era kebangkitan masyarakat dan kebudayaan Bali. Di bawah Raja Waturenggong, kesenian Bali mengalami masa pencerahan.
Namun upacara Eka Dasa Ludra di Pura Besakih yang diselenggarakan pada masa pemerintahannya, kacau balau disebabkan oleh kutukan Brahmana Keling yang marah karena tak diakui sebagai saudara oleh Dalem Waturenggong.
Atas petunjuk Dewata, Dalem Waturenggong minta maaf dan mengharapkan Brahmana Keling ikut serta menyukseskan upacara Eka Dasa Ludra. Brahmana Keling kemudian diberi gelar Dalem Sidakarya.
Menyusul pementasan dalam babak ketiga (Sundaram) yang menceritakan pudarnya era kerajaan dan datangnya bangsa penjajah membuat kehidupan rakyat Bali tertindas lahir batin.
Kemerdekaan yang terengkuh pada pertengahan abad ke-20 adalah dimulainya kehidupan berbangsa dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Bali dengan keindahan seni dan keunikan budayanya mulai banyak dikunjungi masyarakat mancanegara.
Kehidupan masyarakat Bali beransur-ansur aman, damai, dan sejahtera. Di bawah kepak Garuda Pancasila dan toleransi berbangsa yang ber- Bhineka Tunggal Ika, pertiwi Nusantara pun menjadi tumpah darah yang dikawal keutuhannya oleh segenap komponen insani rakyat Indonesia, menuju keadaban yang maju gemilang.
Pementasan favorit
Kadek Suartaya meraih gelar doktor pada pertengahan April 2016 dengan mempertahankan disertasinya berjudul "Dinamika Sendratari Mahabharata di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali (PKB)"
Seniman serba bisa yang bertindak sebagai dalang dalam pementasan oratorium itu menilai, sendratari menjadi seni pertunjukkan favorit masyarakat Pulau Dewata masa kini dikonstruksi dari pengembangan seni tradisi sehingga mampu menyuguhkan hiburan yang bermutu.
Hal itu menjadikan sendratari Bali memiliki posisi dan makna kultural di tengah pergulatan budaya global-lokal. Dinamika perubahan yang terjadi dalam sendratari Bali di tengah globalisasi menjadi latar belakang untuk melakukan sebuah penelitian dengan menempatkan sendratari Bali sebagai objek material dan dinamika perubahannya.
Dinamika perubahan sendratari pertama kali muncul di Bali pada tahun 1962 hingga menjadi seni pertunjukan favorit PKB yang digagas Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) tahun 1978.
Sendratari dari perspektif kajian budaya secara konseptual artistik adalah dramatari non verbal yang dapat dinikmati tanpa memerlukan kendala bahasa, sebab estetika tari dan musik sebagai media komunikasi utama dalam sendratari bisa berinteraksi secara trans-budaya dan trans-bangsa.
Di tengah era globalisasi, sendratari berpeluang menjadi seni unggulan yang dapat diapresiasi masyarakat global menghadapi gencarnya penetrasi seni budaya pop. Namun dalam perkembangannya di tengah masyarakat Bali sendiri, sendratari menjadi seni pentas lokal yang memiliki dimensi kultural yang signifikan.
Sebagai sebuah kreasi seni, sendratari diterima sebagai seni tontonan yang memiliki prestasi seperti setiap tahun ditampilkan dalam memeriahkan pembukaan PKB. Eksistensi sendratari dalam kehidupan sosial budaya Pulau Dewata dan era globalisasi mengalami dinamika perubahan.
Perubahan itu dipengaruhi faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan sendratari. Sendratari merupakan salah satu bentuk tari yang bercerita pertama kali muncul di Jawa Tengah sekitar tahun 1961.
Setahun kemudian (1962) seni pentas itu menggunakan prinsip estetik drama tari tanpa dialog muncul di Bali. Pada umumnya sendratari Bali berorientasi dari dua epos besar India, Ramayana dan Mahabharata.
Lakon-lakon dari dua karya sastra agung itu disajikan dalam sendratari kolosal sejak tahun 1979 hingga sekarang di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) yang selalu mampu menarik perhatian masyarakat luas.
Dengan demikian panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Denpasar yang mampu menampung ratusan seniman pentas secara massal memberikan andil terhadap berkembangnya kesenian sendratari dalam kehidupan sosial budaya di Pulau Dewata, tutur Kadek Suartaya. (WDY)