Jakarta (Antara Bali) - Sejarawan Taufik Abdullah mengatakan ilmu
sejarah di Indonesia pada abad ke-21 sudah beragam dalam aspek cakupan
wilayahnya karena daerah-daerah yang semula tidak terjamah studi sejarah
sudah mulai mendapatkan perhatian pemerhati sejarah.
"Kalau sekiranya dibuat ranking mana wilayah yang paling kaya (studi
sejarah), maka bisa dikatakan Jawa, Bali, Aceh, dan Minangkabau
menduduki tempat tertinggi," kata Taufik dalam ceramah bertajuk
"Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah" yang digelar di
Komunitas Salihara, Jakarta, Selasa malam.
Namun, pada abad 21 kecenderungan tersebut terguncang karena wilayah
lain terutama Indonesia bagian timur mulai mendapatkan perhatian dalam
kajian sejarah.
Dinamika sejarah di "Kepulauan Sunda Kecil" yang sekarang terdiri
atas tiga provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur, sudah banyak yang diterbitkan menjadi buku.
"Beberapa disertasi mengenai masa penjajahan dan revolusi di Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur telah diterbitkan. Bima adalah
wilayah bagian timur yang paling banyak menghasilkan karya bernuansa
kesejarahan," kata pria yang pernah menjabat Ketua Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia tersebut.
Kalimantan juga semakin menarik perhatian meskipun belum banyak
studi sejarah yang dilakukan di sana. Salah satu contoh kajian sejarah
Kalimantan adalah "Kerajaan Sintang 1822-1942" karya Helius Sjamsuddin
yang menguraikan perlawanan antikolonialisme di salah satu wilayah
Kalimantan Barat.
Karya sejarah yang juga menarik adalah kisah perlawanan Sultan Nuku
dari Tidore karya Muridan Widjojo yang berjudul "Pemberontakan Nuku:
Persekutuan lintas Budaya di Maluku-Papua sekitar 1780-1810".
Taufik menyebutkan pula bahwa Sulawesi, terutama di wilayah
keturunan Sawerigading, merupakan wilayah timur Indonesia yang paling
mendapatkan perhatian studi sejarah oleh sejarawan lokal ataupun asing.
"Awal abad 21 boleh dikatakan sebagai masa ketika sebagian besar
wilayah Indonesia mulai terbebas dari kegelapan sejarah, betapa pun
berbagai aspek kehidupan sosial-kultural masih belum terjamah," kata
Ketua Akademi Jakarta tersebut.
Selain dalam cakupan wilayah, keragaman studi sejarah sudah terlebih
dahulu mengalami keragaman dari segi tema. Pada awal kemerdekaan,
kajian sejarah memiliki kecenderungan tema politik sehingga sejarah
pergerakan nasional sangat intens dipelajari.
Salah satu tema yang juga mulai mendapat perhatian adalah sejarah
maritim. Menurut Taufik, sejarawan Adrian Bernard Lapian merupakan sosok
yang membuka pintu sejarah maritim lewat karya disertasinya berjudul
"Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut".
"Setidaknya lima sejarawan Indonesia telah menulis sejarah maritim.
Laut Sulawesi, lautan Hindia, dan Laut Jawa, apalagi Selat Malaka,
bukanlah wilayah asing dalam historiografi modern Indonesia," kata dia.
Taufik juga mengungkapkan bahwa konferensi sejarah nasional yang
akan diselenggarakan pada tahun ini akan mengambil tema utama maritim
dengan tujuan agar banyak pihak sadar bahwa masyarakat Indonesia tinggal
di negara kepulauan namun masih memiliki pemikiran agraris.(WDY)
Studi Sejarah di Indonesia Sudah Beragam
Rabu, 27 Januari 2016 8:10 WIB