Denpasar (Antara Bali) - Kasus terbunuhnya bocah Engeline (8) di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar, Bali, beberapa bulan lalu, dengan tersangka utama orang tua angkatnya Margriet Megawe menjadi bahan renungan sekaligus sebagai ikon antikekerasan terhadap anak di Indonesia.
Kasus kekerasan terhadap anak semacam ini memberi pesan tidak boleh terulang lagi, karena barang siapa menghabisi nyawa orang lain akan dikenakan tuntutan hukuman hingga masuk sel tahanan. Sebagai orang tua pelakunya seharusnya melindungi dan mengasihi anak sesuai dengan haknya yang perlu mendapat perlindungan.
Kasus pembunuhan terhadap bocah yang menggegerkan masyarakat dunia, hingga media internasional pun sempat menjadikannya sebagai berita utama pada koran maupun media "online" (berjaringan) dan menjadi sebuah catatan kriminal terheboh di tahun 2015.
Aktivis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar, Siti Sapura SH yang akrab dipanggil Ipung mengatakan kasus kekerasan terhadap anak ini sebagai cerminan kebiadaban orang tua yang tega menghabisi anak angkatnya.
"Terhadap kasus tersebut pihak kepolisian dan aparat penegak hukum agar secara cermat menyikapi motif pembunuhan terhadap bocah yang masih duduk di kelas II-B SD Negeri 12 Sanur itu," ucapnya.
Ipung mengatakan kasus kekerasan anak ini adalah sebuah pelajaran bersama agar selalu mengawasi dan mengasihi anak dengan sebaik-baiknya.
Terkait dengan UU Perlindungan Anak, dia berpandangan sesungguhnya aturan dan hukumannya sudah cukup, permasalahannya justru terletak pada faktor kepedulian.
"Saya minta kepedulian kita semua. Siapa sajalah yang melihat ada keanehan yang terjadi pada seorang anak atau keanehan yang terjadi dalam suatu rumah tangga, tolong peduli," ucapnya.
Agar kasus seperti Engeline tidak terulang, Ipung mengingatkan para orang tua seharusnya dapat menjaga anak dengan sebaik-baiknya dan tidak diberikan kepada orang lain.
Menurut dia kalau pasangan suami-istri belum memiliki kemampuan secara ekonomi dan kejiwaan, sebaiknya jangan dulu berencana mempunyai keturunan.
Hal senada juga diungkapkan pemerhati anak, Seto Mulyadi mengaku terpukul dengan kejadian yang menimpa bocah malang itu dan meminta semua pihak termasuk kepolisian untuk mengungkap kebenaran dari peristiwa memilukan tersebut.
"Saya sangat prihatin dan terpukul. Semua harus serius mengungkap kebenaran dan mohon semua terbuka," ucapnya.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) mendeklarasikan mendiang Engeline (8) sebagai ikon antikekerasan dan gerakan "stop kejahatan terhadap anak" yang digelar di depan kediaman korban di Jalan Sedap Malam, Kota Denpasar.
"Kami bersama Pemerintah Kota Denpasar mencanangkan Engeline sebagai ikon melawan kekerasan dan kejahatan terhadap anak Indonesia," kata Ketua Umum KPA Arist Merdeka Sirait.
Dipilihnya bocah itu, menurut pria berambut panjang tersebut, karena kasus pembunuhan yang menimpa Engeline telah menjadi perhatian nasional dan dunia.
"Walaupun banyak kasus yang kami perjuangkan tetapi ini momentum untuk menyatakan tidak ada toleransi terhadap kekerasan kepada anak," ucapnya.
Arist mengungkapkan pihaknya tidak akan berhenti hanya pada seremonial semata, namun tetap mengawal kasus tersebut termasuk mendukung pihak kepolisian mengungkap tabir kematian bocah cantik itu.
"Kami tidak akan berhenti mencari tahu dan mengungkap tabir Engeline yang meregang nyawa. Ini yang harus kami perjuangkan," ujarnya.
Dalam deklarasi tersebut sejumlah pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Forum Anak Daerah Provinsi Bali membentangkan spanduk kain putih yang disediakan bagi masyarakat menuliskan aspirasinya terkait kasus Angeline.
Mereka juga membagikan brosur deklarasi Engeline sebagai ikon anti-kekerasan dan stop kejahatan terhadap anak kepada masyarakat dan para pengendara yang melintas.
Beberapa teman sekelas Engeline di SDN 12 Sanur juga turut menuliskan salam perpisahan kepada bocah malang tersebut.
Ratusan masyarakat juga turut memadati depan kediaman Engeline yang berada di pinggir jalan raya sehingga membuat laju lalu lintas di jalan tersebut melambat.
Acara deklarasi tersebut juga dihadiri Wali Kota Denpasar kala itu Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan sejumlah instansi terkait lainnya.
Pelaku Dihukum Berat
Sekretaris Jenderal Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Bersatu, Bali, Valerian Libert Wangge SH mengatakan kekerasan seksual hingga kematian keji yang dialami Engeline telah membuka kesadaran semua pihak bahwa pelaku tindak kejahatan itu harus dihukum mati.
"Kamatian Engeline menjadi pintu masuk untuk merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak agar pelakunya dihukum mati. Kami mendesak pemerintah dan DPR-RI merevisi UU itu," katanya.
Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama menegaskan pihaknya akan menyampaikan ke pemerintah pusat untuk melakukan revisi UU Perlindungan Anak.
Ia mengatakan, selain memberikan hukuman berat terhadap pelaku, juga untuk memastikan adanya jaminan hukum perlindungan anak dari kekerasan seksual maupun pembunuhan.
Engeline sebelumnya dikabarkan hilang di depan kediamannya di Jalan Sedap Malam pada Sabtu (16/5) sekitar pukul 15.00 Wita. Pihak keluarga kemudian menyebar informasi hilangnya Engeline di media sosial hingga menyedot perhatian publik.
Namun berita mengejutkan publik tatkala bocah malang itu ditemukan tewas dikubur di halaman belakang rumahnya sendiri.
Polisi kemudian menetapkan Agus sebagai pelaku pembunuhan dan Margriet Megawe sebagai pelaku utama. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan.
Selain ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan, polisi juga menetapkan Margriet sebagai tersangka penelantaran anak. Margriet kemudian mengajukan praperadilan terkait penetapan tersangka kasus pembunuhan.
Namun Pengadilan Negeri Denpasar menolak gugatan pihak Margriet dan memenangkan penetapan tersangka pembunuhan oleh polisi.
Kasus pembunuhan Engeline sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Denpasar, hingga akhir tahun 2015, sidang di PN terus berlanjut dengan menghadirkan saksi-saksi untuk nantinya hakim menjatuhkan hukuman terhadap tersangka. (WDY)