Semarapura (Antara Bali) - Petani garam di Kabupaten Klungkung, Bali kini memiliki produksi garam yang berlimpah, karena jenis matadagangan itu tidak ada yang membeli, sehingga banyak petani garam mengeluh dan beralih ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.
"Kondisi itu perlu dicarikan solusi terkait lesunya penjualan garam, khususnya di Pantai Kusamba Klungkung," kata Kepala Bidang Ekonomi Bapeda Kabupaten Klungkung Kusmayadi, Selasa.
Ia mengatakan hal itu ketika memimpin rapat di Kantor Desa Kusamba yang dihadiri instansi terkait antara lain utusan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BPMPD, Diskes, Ketahanan Pangan, Dinas PPK, Tim ahli bupati dan aparat Desa Kusamba.
Kepala Desa Kusamba I Ketut Winastra menjelaskan, tidak ada membeli garam produksi warganya sehingga persediaan garam mencapai berton-ton.
Kondisi demikian menyebabkan banyak petani garam beralih pekerjaan yang lebih menguntungkan dan anak-anak muda kini tidak mau lagi menjadi petani garam.
"Mereka yang bertahan sebagai petani garam umumnya usia 50 tahun ke atas, sehingga dikhawatirkan petani garam akan punah," cemas I Ketut Winastra.
Pernyataan kepala desa Winastra tersebut diperkuat oleh Ketua Kelompok Merta Segara I Wayan Rena bahwa pihaknya mempunyai persediaan garam mencapai empat ton.
Persediaan sebanyak itu akibat tidak ada pembeli sama sekali, padahal biasa sedikitnya ada sepuluh pembeli setiap harinya. Produksi garam yang dihasilkan antara 10-20 kg per hari.
Garam dijual dengan harga Rp3.000/kg untuk kualitas biasa dan Rp10.000 kg untuk kualitas super, ujar I Wayan Rena.
Keluhan datang dari hampir sebagian besar petani garam di Kusamba, Kabupaten Klungkung.
PT. Bening yang diwakili I Made Budi yang mempunyai tempat produksi garam di Jumpai, Kabupaten Klungkung selama ini membeli garam di Goris, Gerokgak, Buleleng.
"Kami siap membeli hasil produksi petani di Kusamba, ketimbang kami beli ke Gerokgak jauh-jauh. Tapi kami minta kualitasnya sesuai standar yaitu produksi tidak menggunakan karet, spon atau plastik. Karena pembeli kami kebanyakan hotel, restaurant di Sumatera, Kalimantan dan Bali yang ingin garam organik bebas kimia. Sehingga kami minta produksi menggunakan bambu atau pohon kelapa secara tradisional", jelas Budi.
Menanggapi hal tersebut, tim ahli Pemkab Klungkung yang dihadiri Prof. Dr I Made Suwitra dan Dr. I Nyoman Sudipa meminta Bappeda dan instansi terkait untuk bisa membantu masalah petani garam.
"Carikan petani garam ini solusi. Misalnya pemerintah daerah Klungkung membeli produksi dan mengupayakan pengkemasan dan mencarikan pemasarannya. Buat proposal berapa besar dana untuk bisa membantu kelompok tani membuat garam organik yang harganya sepuluh kali lipat lebih mahal", harap Sudipa. (WDY)