Perjuangan para seniman, Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan sembilan tari tradisi Bali menjadi Warisan Budaya tak Benda Dunia oleh Badan PBB yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) akhirnya berbuah manis.
Lewat sidang ke-10 Komite Warisan Budaya tak Benda UNESCO di Windhoek, Namibia, Afrika, 2 Desember 2015 telah menetapkan untuk memasukkan tiga golongan atau genre tari tradisi Bali yang terdiri dari sembilan tari ke dalam daftar Warisan Budaya tak Benda (Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity).
Kesembilan tari tersebut adalah Tari Rejang, Sanghyang Dedari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral (Tari Wali), Tari Topeng Sidhakarya, Drama Tari Wayang Wong, Drama Tari Gambuh yang digolongkan sebagai tarian semi sakral (Tari Bebali), Tari Legong Keraton, Joged Bumbung dan Barong Ket "Kuntisraya" yang digolongkan sebagai tarian hiburan (Tari Balih-Balihan).
Pengakuan dunia yang didapatkan ini tidaklah memakan waktu singkat. Prof Dr I Made Bandem sebagai salah satu konsultan budaya pengajuan tarian itu mengatakan proses penelitian sudah dimulai pada 2009 oleh Departemen Budaya dan Pariwisata.
"Verifikasi yang pertama 17 Juni 2010. Saat itu sudah disetujui dan ditandatangani oleh seniman semua. Verifikasi terakhir 2014, baru selanjutnya diusulkan," kata salah satu budayawan kenamaan Bali itu.
Bandem menceritakan sampai akhirnya diputuskan sembilan tarian yang diusulkan itu berdasarkan latar belakang bahwa tarian tersebut bisa mewakili keseluruhan tarian yang ada di Bali dengan melihat konsep sejarahnya, fungsi, maupun gaya tarinya.
"Kesembilan tarian tersebut jika dipilah berdasarkan fungsinya sudah mencakup jenis Tari Wali (menjadi bagian upacara atau iringan upacara), Tari Bebali (mempunyai lakon dan dapat disebut tari semi sakral dan seremonial) serta Tari Balih-Balihan (berfungsi sosial dan sebagai hiburan)," ucapnya.
Jika dipilah berdasarkan sejarahnya, Tari Wali itu berasal dari abad ke-8 sampai abad ke-14, Tari Bebali (asal abad ke-14 sampai ke-19) dan Tari Balih-Balihan (asal abad ke-19 sampai dengan sekarang).
Kesembilan tarian itu juga sudah mewakili kesembilan kabupaten/kota di Bali yakni Tari Rejang (Kabupaten Klungkung), Tari Sanghyang Dedari (Kabupaten Karangasem), Tari Baris Upacara (Kabupaten Bangli), Tari Topeng Sidhakarya (Kabupaten Tabanan), Drama Tari Gambuh (Kabupaten Gianyar), Drama Tari Wayang Wong (Kabupaten Buleleng), Tari Legong Keraton (Kota Denpasar), Tari Joged Bumbung (Kabupaten Jembrana) dan Tari Barong Ket (Kabupaten Badung).
Beralih Fungsi
Seniman yang juga guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia mengingatkan dengan penetapan tersebut sekaligus menjadi tantangan bagi Bali jangan sampai tarian tersebut beralih fungsi.
"Jangan sampai Tari Sanghyang Dedari menjadi Balih-Balihan, walaupun ada garapan baru yang terinspirasi dari Sanghyang. Jangan sampai secara mentah-mentah dibebaskan untuk ditampilkan dimanapun," ucapnya.
Demikian pula jangan sampai kesenian klasik kehilangan identitas estetiknya, seperti misalnya Tari Gambuh itu tidak lagi seperti itu, tetapi menjadi seperti kesenian drama gong. "Harus betul-betul diproteksi kesembilan tarian agar tidak beralih fungsi dan kehilangan identitas dirinya," ucapnya.
Menurut Dibia, peran media tidak kalah penting untuk tetap mengingatkan masyarakat jangan sampai terbuai oleh penetapan, tetapi harus mempertanggungjawabkan bahwa memang benar dan memang pantas tarian yang sembilan ini menjadi Warisan Budaya Dunia.
Bahkan dia mengusulkan utamanya bagi sekolah-sekolah yang membidangi kesenian seharusnya tari tradisi itu memang sudah menjadi materi kurikulum.
"Termasuk juga ISI Denpasar dan perguruan tinggi yang lainnya di Bali. Misalnya saja Universitas Hindu Indonesia (Unhi), bisa terkonsentrasi dengan materi Tari Wali dan Tari Bebali," ucapnya.
Sedangkan bagi sekolah-sekolah, ucap Dibia, meskipun tidak seluruhnya bisa dimasukkan dalam kurikulum, bisa juga dimasukkan menjadi pelajaran ekstrakurikuler bagi siswa SMP dan SMA di seluruh Bali.
Kesiapan dari para guru pelatih tari tradisional itu di masyarakat dinilai sudah tidak masalah sehingga tidak perlu terlalu khawatir ada keterputusan dalam pembinaan atau alih generasi dari kesenian klasik yang telah ditetapkan tersebut.
"Di samping memang tetap diperlukan terus terselenggaranya Pesta Kesenian Bali dan kegiatan budaya yang lain agar masyarakat terus termotivasi supaya menampilkan tarian Bali yang ditetapkan. Lewat penetapan ini juga menjamin keberlangsungan tarian dan bahkan mengalami perkembangan yang lebih baik," katanya.
Hal senada disampaikan seniman Prof Dr I Made Bandem. Menurut dia, sembilan tari tersebut wajib masuk kurikulum, terutama wajib untuk Institut Seni Indonesia Denpasar Jurusan Tari.
"Untuk tarian sakral, walaupun tidak bisa dipentaskan di publik, tetapi ada dasar gerak, kostum, dan kidung atau lagu pengiring tarian itu yang bisa dimasukkan kurikulum. Termasuk bisa dimasukkan ekstrakurikuler bagi siswa SD dan SMP," ucap Bandem.
Menurut dia, UNESCO lewat perwakilan di Indonesia akan terus mengamati terpelihara atau tidak sembilan tarian itu. "Jika tidak, mereka pasti akan melaporkan pada organisasi induknya. Apalagi jika sampai hilang, pasti Pemerintah Indonesia yang akan pertama ditegur, kemudian menegur Pemprov Bali, dan menegur seniman serta masyarakat yang sudah dianggap lalai," ucapnya.
Fasilitasi Pemerintah
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha menyatakan sangat bergembira dan bersyukur dengan penetapan ini. "Dengan demikian, Bali tidak saja mendapatkan perlindungan dari sisi pelestarian tari tradisi, sekaligus ke depannya semakin memberikan manfaat ekonomis," ucapnya.
Menurut dia, dengan tari tradisi Bali sudah diinskripsi UNESCO, menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Bali, pemerintah kabupaten/kota se-Bali yang menyiapkan sarana dan prasarana demi pelestarian dan pengembangan tari tradisi Bali.
"Sejauh ini memang peran masyarakat cukup menonjol untuk memelihara tari tradisi Bali yang bersifat Wali. Sedangkan peran Pemprov Bali dan pemerintah kabupaten/kota untuk membina tari yang bersifat Bebali dan Balih-Balihan untuk penampilan dalam Pesta Kesenian Bali, Bali Mandara Mahalango dan kegiatan pariwisata lainnya," ucapnya.
Sedangkan dilihat dari pendidikan, kini banyak sanggar seni di Bali yang memberikan pelatihan mengenai jenis-jenis tari yang bersifat Balih-Balihan, sedangkan pelatihan Tari Wali dan Bebali pelatihannya berlangsung di masyarakat.
"Apapun yang disarankan oleh para ahli akan kami tindaklanjuti. Yang jelas bahwa kedepannya upaya pelestarian melalui pendidikan, baik pendidikan formal, maupun nonformal dalam sanggar maupun sekaa-sekaa atau kelompok kesenian," katanya.
Dewa Beratha berpandangan untuk upaya pelestarian, tidak cukup juga melalui pendidikan, yang terpenting pemerintah bisa menciptakan dan memberikan ruang wadah sehingga tarian tersebut tetap bisa dipentaskan.
"Yang namanya kebudayaan, kalau tidak pernah dilaksanakan lagi tentu akan punah. Di sinilah peran pemerintah di samping lembaga adat yang memang sebagai pelaksana upacara," ucapnya.
Terkait Tari Wali yang hanya bisa dipentaskan dalam upacara keagamaan, pemerintah pun masih bisa memfasilitasi. "Ini yang perlu kita komunikasikan, sehingga pada upacara besar di Pura yang berstatus Sad Kahyangan wajib dipentaskan tarian itu, karena di ajang Pesta Kesenian Bali kan tidak mungkin untuk dipentaskan," katanya. (WDY)
Menanti Kurikulum Sembilan Tari Warisan Budaya Dunia
Sabtu, 5 Desember 2015 13:44 WIB