Denpasar (Antara Bali) - Wayan Kun Adnyana, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar meraih gelar doktor bidang pengkajian seni rupa, setelah berhasil mempertahankan disertasi di hadapan sembilan penguji di kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta.
"Ujiannya berlangsung Jumat (9/10) dengan disertasi berjudul `Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an`," kata Wayan Kun Adnyana melalui surat elektronika di Denpasar, Senin.
Pria kelahiran Bangli, 4 April 1976 atau 39 tahun silam itu menemukan rumusan baru bahwa Pita Maha yang selama ini hanya disebut perkumpulan seniman, menjadi Gerakan Sosial Seni, karena ada peran ideologi seni di dalamnya.
"Disertasi saya dipandang sangat memuaskan oleh beberapa penguji dari berbagai perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, yakni Prof Djohan (Ketua Kenguji, ISI Yogyakarta), Prof Soeprapto Soedjono (promotor, ISI Yogyakarta), Dr St. Sunardi (kopromotor, Universitas Sanata Dharma), Prof Heru Nugroho dan Prof PM. Laksono (Universitas Gadjah Mada), Dr M Agus Burhan, Dr Suastiwi Atmodjo, Dr Suwarno Wisetrotomo dan Dr Suprianto (ISI Yogyakarta)," ujar Kun Adnyana.
Ia menemukan rumusan gerakan sosial seni dengan memformulasi teori Bourdieu dan Althusser, bahwa gerakan sosial seni itu bisa lahir karena bekerjanya keseluruhan potensi modal (simbolik, budaya, dan ekonomi) dipadu habitus kebaruan di dalam arena seni yang kompleks.
Di Perkampungan seniman Ubud, Bali tahun 1930-an telah berlangsung gerakan sosial berbasis praktik seni lukis yang melibatkan beragam agen seni di dalam arena apresiasi, kompetisi, dan praktik sosial yang kompleks.
"Selama ini belum ada ketegasan tentang posisi pelukis Bali, komponen puri Ubud, dan pelukis Barat (Walter Spies dan Rudolf Bonnet) dalam membangun sejarah seni lukis Bali di tahun 1930-an. Sejarah acap menuliskan peran pelukis Barat lebih dominan, tanpa mengkaji dan menganalisis kepemilikan modal masing-masing agen yang terlibat dalam peran sejarah tersebut", terang Kun yang juga penulis kritik seni di berbagai media cetak nasional.
Sementara menyangkut ideologi, Kun merumuskan bahwa Pita Maha melahirkan konsep estetika berupa spiritualisme (ekspresi personal rasa ketuhanan, meta-narasi (tafsir atas makna wiracerita), dan jiwa merdeka (lahirnya subjek pencipta seni, dan hak monopoli artistik oleh para pelukis Pita Maha.
Ideologi estetika seni lukis Bali 1930-an, dalam disertasi itu ditegaskan sebagai hasil pencerapan dan temuan pelukis Bali yang terlibat dalam praktik seni mulai medio 1920-an, seperti Gusti Lempad, Ida Bagus Kembeng, Tjokorde Oka Gambir, AA Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Ngendon, Gusti Kobot, I Reneh dan Gusti Deblog.
Sementara posisi Spies dan Bonnet sebagai pembimbing dan maesenas seni bersama patronase Puri Ubud, yakni Tjokorda Raka Sukawati dan Tjokorda Agung Sukawati.
"Semua agen memiliki modal simbolik dan budaya yang spesifik dan habitus pembaruan, sehingga yang awalnya hanyalah praktik penciptaan seni lukis menjadi gelombang besar gerakan sosial dengan beragam praktik seni, apresiasi, dan juga kemampuan untuk mengakses aparatus ideologi Negara (lembaga Kunstkring di berbagai kota di tanah air dan galeri seni internasional). Gerakan ini secara resmi diberi nama Pita Maha sejak 29 Januari 1936," urai Kun.
Kun meneliti Pita Maha hingga ke Belanda untuk bisa mengakses arsip dan data Pita Maha, yaikni di Niewenkamp Foundation Leiden, dan Tropen Museum Amsterdam.
Sementara untuk menajamkan pemahaman teori sosiologi seni dan kritik seni, peraih penghargaan Visiting Artist/Scholar dari Western Michigan University ini mengikuti sandwich selama satu semester di Michigan, Amerika Serikat. (WDY)
Wayan Kun Raih Doktor Pengkajian Seni Rupa
Senin, 12 Oktober 2015 16:48 WIB