Singaraja (Antara Bali) - Umat Hindu diharapkan bisa meningkatkan rasa toleransi antarumat beragama dalam memaknai Hari Raya Galungan untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) terhadap adharma (keburukan).
"Hari Raya Galungan saat ini diharapkan mampu meningkatkan keimanan umat Hindu dan memupuk toleransi dan nilai kebersamaan dengan umat lain," kata Ketua Parum Walaka Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Buleleng, Bali, Dewa Nyoman Suardana, di Singaraja, Rabu.
Ia menjelaskan bahwa Hari Raya Galungan yang jatuh pada Rabu (15/7) merupakan momentum yang tepat meningkatkan toleransi mengingat pada minggu yang sama yakni pada Jumat (17/7) umat Islam juga merayakan Idul Fitri 1435 Hijriah.
Menurut dia, toleransi tersebut salah satunya diwujudkan mulai dari diri sendiri yakni dengan melenyapkan sifat adharma menjadi dharma sehingga menjadi fondasi yang kuat guna meciptakan kerukunan umat beragama.
"Jika dari dalam diri sendiri sudah memiliki fondasi yang kuat dan dilandasi sifat-sifat dharma, maka kerukunan dan rasa toleransi baik sesama maupun antarumat beragama semakin baik dan menjadi warna dalam masyarakat," ucap guru agama Hindu di SMAN 3 Singaraja, Kabupaten Buleleng itu.
Hari Raya Galungan dirayakan umat Hindu di Indonesia yang jatuh setiap 210 hari atau enam bulan sekali berdasarkan pawukon atau wuku yakni Wuku Dungulan.
Dalam melaksanakan hari kemenangan dharma itu, rangkaian ritual digelar umat Hindu sebelum hari H Galungan.
Rangkaian ritual tersebut dalam Lontar Sundarigama dia menyebutkan dimulai dari "sugihan jawa" yang dilaksanakan enam hari sebelum Galungan yang bermakna penyucian alam semesta (Bhuawana Agung).
Keesokan harinya digelar ritual "sugihan bali" atau menyucikan diri sendiri (Bhuwana Alit).
Suardana lebih lanjut menjelaskan setelah dua ritual tersebut ada tiga ritual keagamaan yang digelar lagi yakni "penyekeban", tiga hari menjelang Galungan yang bermakna mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki Bhuta atau nafsu kemararan.
Setelah itu, "penyajaan" dua hari menjelang Galungan yang bermakna umat diharapkan benar-benar meneguhkan iman agar terhindar dari sifat-sifat keburukan dan "penampahan" Galungan, hari yang dinilai untuk menundukkan sifat "buhta" atau keburukan.
Pada ritual "penampahan" sehari jelang Galungan itu, umat Hindu sebagian besar menyembelih babi sebagai hewan kurban dan bermakna mengendalikan atau menundukkan sifat buruk pada manusia.
Kemudian terakhir sehari setelah Galungan, umat Hindu menggelar "umanis" yang diwujudkan dengan mengunjungi sanak keluarga untuk bersilahturahmi. (WDY)