Jakarta (Antara Bali) - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materi
tentang Undang-Undang Pilkada yang diajukan oleh Ismeth Abdullah dan I
Gede Winasa, dua mantan terpidana perkara korupsi yang kini merasa
dirugikan oleh UU tersebut.
"Hambatan terhadap Pemohon I dan Pemohon II untuk maju kembali
dalam pilkada adalah pelanggaran fundamental terhadap hak-hak warga
negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945," kata kuasa hukum kedua
Pemohon Ai Latifah Fardhiyah dalam sidang perdana di Gedung Mahkamah
Konstitusi Jakarta, Kamis.
Para Pemohon memohonkan uji materi atas ketentuan dari Pasal 7 huruf g dan huruf o UU Pilkada. Pasal 7 huruf (g) itu menyebutkan bahwa warga negara Indonesia
yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih, tidak boleh mencalonkan diri dalam pilkada.
Sementara dalam ketentuan Pasal 7 huruf (o) tertulis bahwa warga
negara Indonesia yang mencalonkan diri dalam pilkada adalah mereka yang
belum pernah menjabat sebagai kepala daerah.
"Seharusnya narapidana yang telah selesai menjalani masa hukumannya
telah menjadi manusia dengan hak-hak yang sama sebagaimana warga negara
lainnya," ujar Ai.
Para pemohon berpendapat bahwa hak untuk dipilih dan hak untuk
memilih merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin
dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Sementara dua huruf dalam Pasal 7 UU Pilkada dianggap pemohon
sebagai bentuk diskriminasi terhadap hak mereka sebagai warga negara
Indonesia.
Ismeth Abdullah merupakan terpidana perkara korupsi terkait
pengadaan mobil pemadam kebakaran dalam kapasitasnya selaku Ketua
Otorita Batam (sebelum menjadi Gubernur Kepri). Ismeth adalah mantan Gubernur Kepulauan Riau periode 2005 hingga 2010. Sementara I Gede Winasa adalah mantan Bupati Jembrana, Bali yang
juga menjadi terpidana dalam kasus korupsi proyek pengadaan pembangunan
pabrik kompos.(WDY)
UU Pilkada Kembali Digugat di MK
Jumat, 3 Juli 2015 8:47 WIB