Pesta Kesenian Bali (PKB) aktivitas seni tahunan ke-37 akan digelar pertengahan Juni--Juli 2015. Kendati kurang tiga bulan lagi, duta seni gong kebyar dari kabupaten/kota sudah melakukan persiapan yang matang.
Masing-masing duta seni ingin menunjukkan prestasi terbaik dalam ajang bergengsi dengan harapan mampu unggul di antara kabupaten/kota lainnya. Tidak mengherankan bila mereka telah melakukan persiapan secara baik.
Penampilan festival atau parade (kompetisi) gong kebyar di arena PKB menjadi favorit masyarakat Pulau Dewata yang telah berlangsung selama 36 tahun dan kali ini merupakan ke-37, kata pengamat dan pelaku seni budaya Bali Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si.
Pria kelahiran Gianyar yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu menjelaskan bahwa masing-masing kabupaten/kota telah mempersiapkan tiga tim gong kebyar, yakni kelompok dewasa, wanita, dan kontingen anak-anak.
Begitu sebuah seka atau sanggar yang ditunjuk kabupaten/kota otomatis menjadi utusan kabupaten/kota bersangkutan sehingga latihan dan kesibukan mulai memancar di bawah asuhan pembina yang telah ditunjuk pemkab/pemkot.
Seluruh komponen yang terlibat dalam tim, seperti para pelaku seni (penabuh, penari, dalang), termasuk para kreator (komposer dan koreografer), panitia, dan pihak birokrasi masing-masing kabupaten/kota.
Semuannya bersatu padu menjalin kerja sama untuk tujuan yang sama, yakni meraih juara bergengsi tersebut. Duta seni yang berada pada barisan paling depan seniman, baik penyaji maupun penggarap.
Seniman penyaji adalah para penabuh dan penari festival gong kebyar berintikan lomba tabuh sekaligus kompetisi seni tari. Mereka direkrut jauh-jauh hari sebelumnya, ada yang mengunggulkan para "pengerawit sekaa sebunan" (banjar atau desa) maupun gabungan dari seluruh kabupaten/kota, termasuk penarinya.
Namun, beberapa tahun terakhir, demi hasrat menjadi yang terbaik, cenderung memadukan seluruh seniman kabupaten/kota yang dikualifikasikan memiliki potensi dalam bidangnya masing-masing.
Perteguh Kejayaan
Gong kebyar yang kini usianya mencapai seabad itu lewat festival PKB memperteguh kejayaan gamelan yang kini ada di masing-masing banjar, sanggar, sejumlah aktnor pemerintah di Pulau Dewata.
Festival gong kebyar yang digelar secara berkesinambungan setiap tahun itu sekaligus mampu menumbuhkan semangat persaingan tabuh dan tari di antara sembilan kabupaten dan kota di daerah ini.
Semangat kompetitif yang bergelora dalam ajang seni pertunjukan tabuh tari mampu mengobarkan gairah berkesenian. Hal itu tercermin dalam penampilan fisik gamelan yang umumnya baru penuh dengan hiasan ukiran.
Hampir seluruh seka kesenian yang mewakili masing-masing kabupaten/kota tampil di arena PKB menggunakan gamelan dengan hiasan pahatan yang rumit berperada mewah gemerlap.
Kondisi demikian, menurut Kadek Suartaya, tidak terbatas hanya pada Festival Gong Kebyar menyemarakkan PKB, tetapi juga hampir pada semua gong kebyar milik desa adat di Pulau Dewata.
Lewat Festival Gong Kebyar PKB mampu memunculkan perkembangan penataan busana dan tata rias para penabuhnya. Para penabuh gamelan yang tampil dalam festival cenderung didandani makin gagah dengan busana, seperti udeng (ikat kepala), baju, saput, dan kamen yang didesain modivikatif.
Bersamaan dengan itu, para penabuh dalam kompetisi juga tampil dengan rona berseri klimis disertai polesan bedak dan gincu sehingga ketika beraksi menabuh terjadilah gerak gerik irama tubuh yang mengemuka karena respons dari instrumen atau komposisi musik yang sedang dimainkan.
Sejak pertama kali digelar pada tahun 1968 dengan nama Meredangga Uttava, Festival Gong Kebyar se-Bali memang bergemuruh. Peristiwa seni pentas yang digelar Listibiya Provinsi Bali itu mampu menyedot perhatian masyarakat Pulau Dewata.
Namun, pada waktu itu, seka-seka sebunan lebih mengambil peran dan menuai kejayaan seperti Seka Gong Kebyar Belaluan Sadmerta Denpasar, Seka Gong Kebyar Jaya Kesuma Banjar Gladag Denpasar, Seka Gong Kebyar Banjar Pinda, Blahbatuh, Gianyar, dan beberapa seka gong kebyar dari Bali Utara.
Akan tetapi, pada Festival Gong Kebyar masa kini, peran seka sebunan diambil alih tim seniman gabungan yang langsung dikoordinasi dan difasilitasi oleh badan terkait di masing-masing kabupaten/kota.
Gong kebyar sejak muncul di Kabupaten Buleleng, Bali utara, pada tahun 1915 diiringi dengan tari kebyarnya yang memang begitu cepat populer di tengah masyarakat Bali. Bahkan, pernah terjadi deman gong kebyar yang merasuki Bali, membungkam keberadaan bentuk-bentuk seni karawitan lainnya.
Pada tahun 1950-an, tidak sedikit ensambel gamelan yang berbahan perunggu, semarapagulingan, misalnya, dilebur menjadi gong kebyar. Kini, hampir setiap banjar atau desa memiliki gamelan yang biasanya diukir berperada gemerlap.
Gong kebyar juga diboyong ke mancanegara, dimainkan oleh para seniman setempat, seperti Grup Gong Kebyar Sekar Jaya di Amerika Serikat dan Grup Sekar Jepun di Jepang.
Sejak sekitar sepuluh tahun belakangan ini, kompetisi gong kebyar menjadi tontonan paling heboh dalam PKB. Euforia dari acara ini sudah membius jauh-jauh hari dan puncak histerianya adalah ketika berduel dalam babak-babak final.
Oleh karena itu, bisa dimaklumi bila dalam pementasan festival sering disertai dengan gemuruh fanatisme yang berlebihan dari sebagian pendukung atau simpatisan masing-masing tim.
"Maklum pula, `radikalisme` pembelaan terhadap jagoannya masing-masing sering pula diekspresikan secara emosional sempit. Sebuah kompetisi memang bisa dan mungkin harus sadar dengan segala konsekuensinya, positif dan negatif," tutur Kadek Suartaya. (WDY)