Denpasar (Antara Bali) - Biaya produksi usaha tanaman padi sawah di Bali mencapai Rp12,05 juta per hektare dalam satu kali musim tanam.
"Biaya produksi yang cukup besar itu didominasi oleh pengeluaran upah pekerja dan jasa pertanian," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Panasunan Siregar di Denpasar, Selasa.
Dalam jumpa pers melaporkan hasil Sensus Pertanian (SP) 2013 yang dihadiri utusan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Dinas Kehutanan setempat, Ia mengatakan, nilai produksi dari tanaman padi seluas satu hektare itu mencapai Rp18,39 juta.
Dengan demikian petani yang menggarap lahan seluas satu hektare dalam satu kali musim tanam memperoleh keuntungan yang tipis yakni hanya Rp6,34 juta.
Ia menjelaskan, biaya produksi tanaman padi yang cukup besar itu terdiri atas upah pekerja dan jasa pertanian yang mencapai Rp6,33 juta, biaya produksi lain yang juga relatif besar yakni pengeluaran untuk sewa lahan 29,04 persen atau Rp3,50 juta.
Selain itu juga untuk pembelian pupuk sebesar 8,12 persen atau sebesar Rp979,070. Jika dilihat menurut musim, biaya produksi padi sawah pada musim kemarau lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya produksi padi sawah di musim hujan.
Panasunan Siregar menambahkan, total biaya per musim tanam untuk lahan seluas satu hektare padi sawah dimusim kemarau sebesar Rp12,21 juta, sementara total biaya dimusim hujan Rp11,87 juta.
Biaya produksi usaha tanaman padi sawah yang memiliki perbedaan mencolok antara musim kemarau dan musim hujan adalah pengeluaran untuk upah pekerja dan jasa pertanian.
Pada musim kemarau biaya upah pekerja dan jasa pertanian untuk luasan satu hektare padi sawah sebesar Rp6,48 juta per musim tanam dan pada musim kemarau Rp6,16 juta.
Hasil sensus pertanian di Bali menunjukkan, rumah tangga yang menggeluti usaha pertanian berkurang sebanyak 83.496 kepala keluarga (KK) selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir dari 2003 hingga tahun 2013.
Pengurangan rumah tangga tani di Pulau Dewata dari 491.725 KK pada tahun 2003 menjadi 408.229 KK pada tahun 2013.
Penurunan rumah tangga tani itu rata-rata berkurang 1,84 persen per tahun. Secara absolut penurunan terbesar terjadi di Kabupaten Buleleng yakni 21.746 usaha dan terendah di Kota Denpasar 5.143 usaha selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Namun secara persentase Kabupaten Gianyar paling banyak mengalami penurunan yakni 3,18 persen per tahun, dan yang mengalami penurunan paling sedikit adalah Bangli hanya 0,36 persen pertahun. (WDY)