Seantero jagat Bali yang selalu memancarkan rona religiusitas membuat setiap orang, termasuk pelancong asing di Pulau Seribu Pura itu merasa nyaman, tentram dan damai.
Bali juga menampakkan kehalusan jiwa dan watak kaum perempuannya yang bisa tersenyum dalam problematika kehidupan sehari-hari, kelembutan dan kepiawaian menari di atas pentas, maupun keahlian dalam membuat banten dan sesaji (rangkaian janur), sarana upacara ritual yang digelar umat Hindu.
Wanita Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka sangat sibuk menyiapkan sarana ritual rangkaian beberapa hari suci maupun "piodalan" (semacam selamatan) tempat suci tingkat rumah tangga maupun desa pekraman (adat).
Ida Ayu Bulan Oka (39), salah seorang wanita Bali yang menggeluti seni kanvas sejak usia dini ingin mengajak publik melihat persoalan kaum perempuan dalam konstruksi budaya Bali.
Putri keenam dari tujuh bersaudara pasangan Ida Ayu Asia Wati dengan Ida Bagus Oka (alm), Gubernur Bali periode 1988-1998, itu menyadari beberapa pengalaman melihat modernitas yang sering berbenturan dengan tradisi dan budaya Bali.
Wanita kelahiran Denpasar, 8 Juli 1975 itu kini tengah menggelar pameran tunggal dengan menyuguhkan 60 karya sketsa, drawing, dan lukisan di Santrian Galeri, Sanur, Kota Denpasar, selama hampir dua bulan hingga 17 Nopember 2014.
Lewat karya kanvasnya itu Bulan Oka ingin mengungkapkan gambaran persoalan perempuan Bali dan dinamika yang sedang terjadi. Figur-figur perempuan yang digarap secara naif menunjukkan sebuah potret yang menohok pada kemajuan sosial yang menjadi evolusi penting dari peradaban kehidupan.
Salah seorang cucu dari Ida Bagus Raka Gerebag yang semasa hidupnya dikenal sebagai seniman ukir, dalang wayang kulit dan pembuat bade (keranda pengusungan jenazah untuk ritual pengabenan atau pembakaran jenazah) itu sedang mengumpulkan pertanyaan, sekaligus mencoba menyuguhkan gambaran apa yang direkamnya menjadi tesis bahwa ada interaksi kehidupan dari segenap konflik sosial yang tengah terjadi di masyarakat Bali.
Oleh sebab itu melalui pendekatan personal, seperti menari-nari dapat menyentuh wilayah konflik itu, dari rutinitas keseharian hingga ruang imajinasi.
Perjalanan Waktu
Menurut Yudha Bantono, kurator pameran, menyaksikan karya-karya Ida Ayu Bulan bagaikan menatap perjalanan waktu, yang begitu gamblang membangun persentuhan antara tradisi dan modernitas yang terkadang tidak terasa telah menghanyutkan untuk dilupakan.
Karya berjudul "Menimang Waktu", misalnya, menurutnya, lahir dari perasaan yang penuh pesona sekaligus kegamangan, atau ada paradok antara kekuatan tradisi dan kemajuan yang terjadi.
Bulan Oka melalui karya-karyanya itu berhasil membuat catatan untuk melihat perjalanan waktu, khususnya di Bali dan di daerah lain di Indonesia yang pernah disinggahinya.
Dengan demikian Bulan Oka berhasil mengolah dan mengubah problematika sehari-hari menjadi bentuk-bentuk kritik nan jenaka, mencair tanpa batas.
Melalui bentuk-bentuk figur yang saling berdialog sejatinya adalah kekuatan dari bahasa ungkap, namun ketika mengamati secara detil dari figur yang berdialog, terlihat pasemon yang secara langsung mampu menguatkan dan saling mengisi, tutur Yudha Bantono.
Pameran yang kedua kali ini setelah sukses menggelar pameran di Danes Art Veranda tahun 2007 adalah episode hitam putih yang berkelana menelusuri relung kehidupan, yang mencerminkan panorama realitas kehidupan yang digerakkan dalam tanda, citra serta warna.
Sosok Ida Ayu Bulan Oka, kata Yudha Bantono, masih seperti yang dulu, bagaimana mengungkap sisi memori kultural, melihat ruang kehidupan dari hal sederhana yang ada di sekitarnya maupun nan jauh dan berjarak.
Dinamika sosial budaya masyarakat dan tempat tinggal yang dijumpai menjadi persoalan penting dalam menimbang keseimbangan kehidupan. Sebagai sosok perempuan Bali, ia harus memerankan diri sebagai ibu rumah tangga, menjalankan tradisi dan budaya, membantu bisnis keluarga, namun tanpa meninggalkan sosialita di lingkungan dan komunitasnya.
Karya-karyanya dinilai tidak membatasi cara pandang bahwa kerumitan dan konflik harus disuguhkan sebagai sebuah teror maupun horor. Baginya, perjalanan melihat kehidupan adalah serial layaknya album yang dapat mengisahkan sesuatu di setiap halamannya.
Ia sedang berupaya menangkap sebuah realitas kehidupan dalam bentuk catatan-catatan indah, namun sarat kritik. Simbolisme dan identitas Bali dalam beragam bentuk, seperti barong, persembahyangan di pura, arsitektur, busana, keluarga dan ritme kehidupan oleh Bulan Oka diletakkan sebagai bahasa ungkap yang dapat berinteraksi sebagai pertanda.
Demikian juga binatang seperti gajah, sapi, burung, dan naga yang terdeformasi menjadi ruang-ruang kehidupan yang sangat kuat mencitrakan bagaimana memerankan simbolisme secara lugas.
Arsitektur kota, ruang-ruang jendela, kendaraan yang mewakili ruang gerak, berhasil dikemas menjadi dialog penting untuk memvisualisasikan gagasannya yang cukup menggelitik, kocak, dan dramatis untuk diingat sebagai catatan apa yang terjadi dengan ruang kehidupan sosial di Bali, katanya.
Kemampuan Prima
Sosok wanita Bali berperan dalam setiap kegiatan ritual dan selalu memiliki ketegaran, yang menjadi cermin betapa sesungguhnya kaum feminim itu memiliki kemampuan prima dalam menyukseskan pembangunan menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Hal itu terlihat wanita Bali sanggup mengemban tugas dan tanggung jawab dalam berbagai jabatan dan profesi, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan swasta maupun perusahaan yang dikelolanya secara mandiri.
Perempuan Bali dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga mengemban tugas yang sangat penting dalam menyukseskan berbagai kegiatan ritual dan upacara adat.
Semua itu dilakoninya dengan ikhlas dan senang hati, di luar tugas dan tanggung jawab dalam menekuni profesi masing-masing.
Wanita Bali memiliki ketulusan, keikhlasan dan ketekunan dalam memaknai hari-hari suci keagamaan yang kadang kala jatuh secara beruntun.
Meskipun demikian mereka tidak bekerja sendirian, namun dibantu oleh suami dan anggota keluarga lainnya, namun yang paling menonjol tetap peranan dan aktivitas kaum ibu.
Perempuan Bali memang sejak kecil terlatih membuat "banten" dan orang tua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual.
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya, katanya.
Dengan keluguan mengarungi kehidupan, wanita Bali sanggup beradaptasi dengan perempuan modern. Mereka juga menjadi objek dan inspirasi bagi seniman lukis dalam menciptakan karya seni di atas kanvas.
Jika diinventarisasi, tidak terhitung jumlahnya keeksotikan perempuan Bali yang dimanfaatkan menjadi objek lukisan oleh seniman dalam dan luar negeri yang berdomisili di Pulau Dewata.
W. Gerard Holker, seniman asing yang lama bermukim di perkampungan seniman Ubud, misalnya, sangat terpesona oleh "Kartini Bali" dalam pakaian adat serat bunga emas, membawa sesajen dalam bokor.
Demikian pula perintis seni lukis Pita Maha di Ubud, Rudolf Bonnet semasa hidupnya sering kali melukis sosok wanita Bali yang polos, rambut panjang dikepang dengan bunga kamboja terselit di pangkal ekor kepang rambutnya.
Sementara Mario Antonio Belanco (alm) maupun pelukis Dullah tidak luput menggambarkan wanita Bali dari segi erotisnya. Sementara I Nyoman Djirna, seniman lokal menggambarkan wanita Bali dari keluguan, kepolosan dan kodratnya. (WDY)