Jakarta (Antara Bali) - Calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto bisa berhadapan dengan hukum karena pernyataannya menarik diri dari Pemilu Presiden 2014, kata pakar hukum tata negara Refly Harun.
"Ya, undang-udang dibuat untuk mengantisipasi hal-hal seperti itu," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Refly, keputusan Prabowo tersebut memicu beragam kontroversi bahkan ia bisa berhadapan dengan hukum karena keputusannya tersebut, yakni dalam Pasal 246 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan ancaman hukuman penjara tiga hingga enam tahun.
Senada dengan Refli, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga menyesalkan keputusan Prabowo untuk menarik diri.
Hal itu disampaikan Yusril melalui laman twitternya.
"Prabowo tidak bisa mundur dari pencapresan hanya beberapa saat menjelang KPU umumkan hasil final piplres, meski dengan hak konstitusional," kicau Yusril
Ia mengatakan dalam UU Pilpres sebagaimana dalam UU Pileg dan Pilkada, seorang calon yang sudah disahkan sebagai calon tak boleh mundur dengan alasan apapun.
Keputusan Prabowo untuk menarik diri tak hanya disesalkan oleh pakar hukum tata negara, namun juga oleh berbagai pihak, seperti Ketua MPR Sidarto Danusubrata.
"Ini keputusan yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia. Demokrasi kita dalam sorotan dunia," katanya.
Ia juga menyesalkan tim saksi Prabowo yang memilih "walk out" dalam rapat rekapitulasi suara di KPU.
Pada kesempatan sebelumnya, calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyatakan menolak apapun keputusan KPU atas hasil Pilpres 2014 yang disampaikan lewat saksi mereka di Gedung KPU, di Jakarta, Selasa.
Saksi Prabowo, Rambe K. Zaman, membacakan surat yang ditandatangani Prabowo Subianto pada 22 Juli 2014 bernomor 07001/capres nomor 1/2014 tentang hal penarikan diri dari proses rekapitulasi suara Pilpres 2014.
Usai membacakan surat pernyataan sikap yang disebut Rambe sebagai hasil rapat tim kampanye nasional Prabowo-Hatta itu, semua saksi Prabowo-Hatta lalu keluar dari ruang rapat pleno rekapitulasi suara yang menyisakan pembahasan provinsi Jawa Timur, Papua, dan pembahasan lanjutan Sumatera Utara yang pada Senin (21/7) ditunda untuk disahkan.
"Kami menemukan beberapa hal yang memperlihatkan cacatnya pilpres sehingga hilangnya hak-hak demokrasi negara Indonesia," kata Rambe.
Rambe mengatakan bahwa mereka menilai Pilpres 2014 bermasalah, tidak demokratis, bertentangan dengan Undang-Undang 1945, tidak adil, tidak terbuka, dan banyak aturan lain dibuat serta dilanggar KPU. (WDY)