Jakarta (Antara Bali) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Poppy Dharsono menyatakan, saat ini sebagian lembaga survei telah terkontaminasi oleh kepentingan politik sehingga tidak objektif lagi.
"Semua mengabdi pada kepentingan pendana survei. Sehingga survei sebagian besar menjadi bagian tim sukses," ujarnya dalam Diskusi Forum Publik bertema Menyoal Quick Count Sebagai Kejahatan Demokrasi di Jakarta, Rabu.
Dia menegaskan, dugaan dan laporan kecurangan dalam pemilu presiden harus diusut tuntas. Sejak pemilu legislatif, diduga terjadi kejahatan pemilu dari tingkatan nasional sampai di tingkat TPS.
"Ratusan gugatan di MK digagalkan. Laporan ke Bawaslu atas kecurangan pelaksana pemilu tidak ditindaklanjuti. Jadi hampir dipastikan kejahatan pemilu dalam pilpres akan bernasib sama. Tidak akan ada kelanjutan," kata Poppy.
Sementara itu, hasil survei Indonesia Network Election Survey (Ines) terkait tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Survei Politik dan Opini selama Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 menunjukkan, 79,6 persen masyarakat tidak percaya pada lembaga survei.
Metodologi survei yang digunakan adalah Multi Stage Random Sampling dengan jumlah responden 1.142 orang di seluruh Indonesia dengan tingkat kepercayaan 95 persen Margin Error +/- 2.9 persen.
"Survei dilakukan tertutup oleh para surveyor dengan memberikan pertanyaan yang sudah disodorkan," kata Tri Sasono dari Ines.
Survei pendapat publik ini dilakukan mulai tanggal 10 juli sampai dengan 15 juli 2014.
Temuan survei menunjukkan 79,6 persen responden tidak mempercayai kredibilitas dan hasil survei lembaga survei opini dan politik di Indonesia karena dianggap lembaga survei merupakan lembaga yang tidak independen dan hasilnya sesuai pesanan.
Temuan survei juga menyebutkan 89.4 persen publik tidak petcaya dengan hasil "quick count" Pilpres 2014 karena dianggap merupakan pesanan dari pihak tertentu untuk membangun opini publik dan dijadikan alat propaganda saja. Dalam temuan survei 86,5 persen publik berpendapat bahwa lembaga survei opini dan politik di Indonesia banyak melakukan manipulasi data survei dan tergantung pesanan.
"Seperti lembaga lembaga survei yang melakukan quick count pilpres yang dengan sudah mengumumkan kemenangan salah satu pilpres padahal tahapan pencoblosan saja masih belum selesai di banyak TPS serta tahapan perhitungan yang masih berjalan," katanya.
Hasil survei juga menyebutkan 87,3 persen publik mencurigai bahwa lembaga survei opini publik yang ada banyak dibiayai oleh pengusaha dan lembaga asing.
Sementara Arief Poyuono dari Federasi Serikat Pekerja BUMN mengingatkan KPU tidak terpengaruh dengan hasil-hasil lembaga-lembaga survey. "Quick count adalah upaya politik pesanan. Kalau hasil penghitungan KPU sama dengan quick count maka seharusnya sudah tidak perlu lagi ada KPU," ujarnya. (WDY)