Yogyakarta (Antara Bali) - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi yang muncul di salah satu soal mata ujian Bahasa Indonesia pada ujian nasional 2014 tingkat SMA/SMK/MA memicu komentar-komentar.
Ada pihak menyebut sisipan pesan-pesan politik pada materi soal ujian itu, sementara pihak lain mengatakan soal tersebut telah dipersiapkan dan dibuat jauh hari sebelum Jokowi dijagokan sebagai calon presiden oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia Said Salahudin menilai Jokowi menjadi salah satu materi UN Bahasa Indonesia merupakan upaya memperkenalkan sosok yang bersangkutan kepada pemilih pemula terkait dengan pemilihan presiden.
"Ini seperti pesan-pesan politik. UN ini untuk kelas III, kelas III itu adalah pemilih pemula. Jadi, ini seperti upaya memperkenalkan sosok Jokowi kepada pemilih pemula yang akan menjadi pemilih pada pilpres nanti," ujar Said.
Menurut dia ada dugaan akan bisa diartikan seperti itu. Bisa saja soal tersebut ditampilkan karena waktunya yang bersamaan dengan proses pencapresan Jokowi.
"Saya baca dari materi muatan soalnya itu, memang seperti memberikan gambaran sosok Jokowi secara berlebihan," katanya.
Oleh karena itu, kata Said, hal tersebut harus ditelusuri siapa yang mengusulkan materi soal tersebut, dan apa motifnya. Mengapa kemudian muncul materi soal semacam itu, yang waktunya bersamaan dengan proses pencapresan Jokowi.
"Ujian nasional Bahasa Indonesia harus murni soal-soal yang terkait akademis, dan tidak boleh disusupi kepentingan-kepentingan atau pesan-pesan politik," kata dia.
Ia mengatakan salah satu materi soal UN Bahasa Indonesia tersebut, sebenarnya pandangan subjektif. Jokowi gemar blusukan, itu pandangan subjektif yang bisa saja ada siswa yang punya pandangan berbeda.
"Itu pandangan subjektif, ini kan soal tentang sosok Jokowi yang belum tentu dipahami semua warga masyarakat, dan mungkin benar ada yang mengatakan Jokowi seperti pada soal tersebut, tapi bisa juga tidak semua orang berpendapat sama. Namun, tidak disediakan jawabannya di situ. Itu jawaban-jawaban yang baik-baik saja," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, ada indikasi-indikasi seperti upaya menyusupkan kepentingan politik pada dunia pendidikan, padahal dunia pendidikan harus steril dari kepentingan politik, karena waktunya yang bersamaan ini.
"Itu kan soal ujian nasional, Jokowi itu kan Gubernur DKI, orang Aceh, Papua, apakah paham soal tersebut. Kan belum tentu kenal Jokowi. Kok seolah-olah menciptakan imej itu, kesan tersebut dibentuk begitu," ujarnya.
Semestinya tidak ada
Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Edy Baskoro mengatakan seharusnya tidak ada materi soal mengenai politik praktis, misalnya tentang Jokowi, pada soal ujian nasional.
"Semestinya tidak ada soal mengenai Jokowi," ujar Edy di Jakarta.
Di berbagai jejaring sosial seperti Twitter, ramai dibincangkan mengenai soal UN mata pelajaran Bahasa Indonesia yang membahas mengenai biografi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi).
"Prinsipnya materi soal tersebut harus netral," katanya.
Dalam membuat soal, menurut dia, ada kisi-kisi mengenai soal UN tersebut, kemudian diseleksi kembali.
"Saya akan melakukan pengecekan terhadap hal itu," ujar dia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh juga mengatakan pihaknya akan segera melakukan pengecekan terhadap hal itu.
"Nanti saja komentarnya, kami akan cek dulu," kata Mendikbud..
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan UN yang merupakan ranah pendidikan tidak dikotori dengan urusan politik.
"Ranah pendidikan jangan disusupi kepentingan politik. Ujian nasional adalah instrumen akademik, sehingga menjadi bermasalah jika ditunggangi kepentingan politik," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta.
Menurut Niam setelah menelaah materi soal UN 2014 tingkat SMA dan sederajat, KPAI menemukan ada indikasi susupan politik pada materi soal Bahasa Indonesia, yakni masuknya nama calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo atau Jokowi, meski pada soal itu disebutkan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"KPAI menilai adanya dugaan politisasi UN melalui soal Bahasa Indonesia yang berisi cerita tentang Jokowi, yang isinya terdapat framing dan cenderung penggiringan opini," katanya.
Oleh karena itu, KPAI meminta Mendikbud sebagai penanggung jawab pendidikan nasional segera melakukan investigasi lebih lanjut terkait dengan munculnya soal cerita bernuansa politik tersebut.
"Siapa pembuatnya, atas motivasi apa, dan dengan gentle bertanggung jawab. Pelakunya jelas tidak punya etika. Harus ada sanksi tegas agar kejadian serupa tidak terus terulang," katanya.
Pada materi soal UN itu diceritakan Jokowi adalah sosok yang jujur dan pekerja keras yang dikenal dengan gaya blusukannya, berprestasi, bersih dari korupsi, dan memiliki kepedulian terhadap buruh.
Selanjutnya, ditanyakan apa keteladanan Jokowi di dalam soal cerita itu, dan telah tersedia jawaban dalam bentuk pilihan ganda.
Jangan dipersepsikan politis
Pakar pendidikan yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang Muhdi menilai penyebutan Joko Widodo pada salah satu materi soal UN 2014 jangan dipersepsikan secara politis.
"Pembuatan soal UN itu dilakukan secara bertahap. Ada mekanismenya, tidak bisa sembarangan," katanya di Semarang.
Ia tidak memungkiri ada pihak yang kemudian mempersepsikan penyebutan Jokowi dalam soal UN itu berkaitan dengan kepentingan politis, tetapi perlu diingat bahwa soal-soal UN tersebut sudah dibuat sejak lama.
Pembuatan soal UN, kata Sekretaris Umum PGRI Jawa Tengah ini, pasti sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum Joko Widodo resmi dijagokan sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan, yakni 14 Maret 2014.
"Ketika itu, Jokowi kan belum jadi capres, hanya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Itu alasan pertama yang membuat saya tidak mempersepsikan munculnya soal tersebut (Jokowi, red.) secara politis," katanya.
Alasan kedua, kata Muhdi, soal-soal UN dibuat oleh pemerintah, sementara Jokowi bukan berasal dari partai politik pemerintah, sehingga tidak ada alasan soal semacam itu dibuat dengan maksud politis.
"Kalau pertanyaannya kenapa soal itu bisa lolos? Ya, tanyakan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, dari dua alasan yang saya sebutkan tadi, saya tidak mencurigai adanya kepentingan politis," katanya. (WDY)