Jakarta (Antara Bali) - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan mengaudit status sekolah internasional di Indonesia setelah diketahui bahwa TK Jakarta Internasional School yang disorot karena terjadi kasus kekerasan seksual terhadap muridnya ternyata belum memiliki izin.
"Kita akan cek kembali semua. Kita audit statusnya apa, sekolah internasional kategori diplomatik, kerja sama, atau hanya label saja. Sekarang momentum baik untuk evaluasi kembali supaya status jelas dan memberi perlindungan jelas terutama kepada peserta didik," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh di kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat.
Nuh mengatakan ada sekolah yang saat mengajukan izin untuk sekolah diplomatik (khusus untuk anak-anak dari kedutaan dan tidak menerima anak Indonesia) tetapi dalam perjalanannya menerima anak Indonesia.
"Banyak yang izinnya diplomatik tapi dalam perjalanan menerima anak Indonesia. Kalau kategori diplomatik ya orang Indonesia nggak boleh masuk atau dia kerja sama dengan lembaga Indonesia. Kalau ini mereka kena aturan termasuk harus belajar agama, PPKN, sejarah," jelas Nuh.
Menurut Nuh, apabila status sekolah internasional tersebut merupakan sekolah diplomatik maka pemerintah tidak akan ikut campur karena mereka memiliki aturan sendiri.
"Ada sekolah diplomatik yang murid-muridnya hanya orang asing tidak terima orang Indonesia, nah kalau itu beda. Kalau sekolah yang skema kerja sama karena sekolah asing tidak boleh berdiri di Indonesia tanpa kerja sama dengan pendidikan domestik," ujar Nuh.
"Misal di Kalimantan Timur, ada sekolah Perancis tapi semua orang asing, ada aturan sendiri, kurikulum sendiri karena tidak diperuntukkan untuk orang Indonesia. Tapi beda jauh dengan JIS yang menerima anak-anak Indonesia, ini yang perlu kita audit," katanya menambahkan.
Nuh juga menegaskan agar kasus kekerasan seksual yang terjadi di TK JIS akan dituntaskan karena menurutnya menyangkut nilai kemanusiaan.
"Harus dituntaskan betul karena persoalan TK JIS jauh lebih berat dari masalah naskah UN yang terlambat tahun lalu (di 11 provinsi). Persoalannya jauh lebih berat secara substantif. Ini tamparan yang sangat berat bagi dunia pendidikan kita," katanya. (WDY)