Puluhan wisatawan mancanegara berjalan kaki di tengah hamparan lahan sawah yang menghijau pada pagi hari itu di Subak Lottunduh, perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Mereka menikmati udara bersih dengan berjalan kaki melewati pematang sawah maupun pematang saluran irigasi dengan air yang mengalir jernih, dengan ratusan ikan air tawar yang menghuni saluran tersebut.
Subak Lottunduh yang memiliki lahan sawah seluas 30 hektare miliki 70 petani itu dinilai memiliki kelebihan dan keunggulan dibanding subak lainnya yang ada di Pulau Dewata, karena seluruh petani sepakat telah menjaga kesinambungan dan kelestarian sawah tersebut agar tidak beralih fungsi.
Dan subak itu pula menjadi menjadi proyek percontohan dalam melestarikan sawah dan sistem pengairan tradisional dalam bidang pertanian (subak) oleh Universitas Udayana, tutur Ketua Pusat Penelitian subak Unud, Prof. Dr. I Wayan Windia.
Di saluran irigasi itu pula belasan anggota PWI Bali pernah menebarkan 1.000 ekor berbagai jenis bibit ikan yang dirangkai dengan gerak jalan menelusuri areal persawahan yang di sekitarnya berkembang sebagai kawasan wisata.
Sebanyak 70 petani anggota subak itu sepakat tidak menjual sawah miliknya, kalaupun terpaksa menjualnya harus ada kesepakatan fungsi sawah itu tetap dipertahankan dan dijamin tidak beralih fungsi.
Perilaku petani yang demikian itu diharapkan bisa ditiru oleh petani-petani lainnya di Pulau Dewata dengan harapan organisasi pengairan tradisional bidang pertanian itu tetap lestari, kokoh dan eksis di tengah perkembangan dan persaingan ekonomi Bali yang sangat ketat.
Hal itu perlu menjadi penekanan, dengan harapan alih fungsi lahan pertanian ke depan dapat dihindari atau tidak separah sekarang, sehingga subak tetap lestari yang kini sudah mendapat pengakuan dunia internasional sebagai warisan budaya dunia (WBD).
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar, Dr. Gede Sedana menambahkan, pengembangan ekowisata dalam kawasan subak mampu menambah daya tarik dan atraksi wisata sehingga pelancong mempunyai banyak alternatif kunjungan selama berliburan di Pulau Dewata.
Ekowisata merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sisial budaya ekonomi lokal `masyarakat` serta pembelajaran dan pendidikan.
Pria kelahiran Buleleng 1 Desember 1964 atau 50 tahun silam itu yang terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian bidang pertanian di Bali menambahkan, sistem subak memiliki peran dan fungsi yang beragam, tidak semata-mata hanya untuk menghasilkan pangan.
Lahan sawah yang beririgasi berfungsi produksi dan ekonomi guna menjamin ketahanan pangan. Demikian pula fungsi lingkungan yang mencakup pengendalian banjir, erosi, pengisian kembali air tanah serta purifikasi udara dan air.
Demikian pula mampu memberi hawa sejuk, fungsi ekologi yakni habitat berbagai jenis spesies yang memberi sumber protein bagi petani dan sangat penting bagi terpeliharanya keanekaragaman hayati.
Fungsi strategis dalam sosial budaya itu subak mampu berfungsi sebagai penyangga tradisi dan nilai-nilai sosial budaya perdesaan, pembangunan perdesaan, menyediakan sumber air minum untuk ternak, cuci dan mandi bagi penduduk desa.
Peranan penting lainnya, menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk desa dan fungsi ekowisata dan agrowisata, karena adanya daya tarik keindahan pemandangan sawah teras dan alam perdesaan serta kehidupan masyarakat perdesaan, termasuk keanekaragaman produksi pertanian.
Oleh sebab itu pengembangan ekowisata mampu mewujudkan tiga sasaran sekaligus dalam waktu yang bersamaan, meliputi peningkatan kesejahteraan, menata kekayaan ekonomi lokal dan meningkatkan integritas ekosistem lokal.
Dukungan insfrastruktur
Dr. Gede Sedana menambahkan, pengembangan ekowisata di kawasan subak, sebagai upaya menambah daya tarik Bali memerlukan adanya kebijakan pemerintah dalam membangun dan memperbaiki infrastruktur.
Adanya dukungan kebijakan pemerintah itu menyangkut infrastruktur sehingga akses menuju ke wilayah ekowisata itu menjadi aman dan nyaman, sekaligus mendorong investasi, penetapan tata ruang serta penguatan kapasitas masyarakat perdesaan dan subak.
Semua kebijakan itu dimaksudkan agar tidak terjadi ekploitasi sumber-sumber daya alam (tanah dan air) di wilayah ekowisata dan sekitarnya. Hal yang tidak kalah penting lainnya untuk mengatur pengelolaan ekowisata yang saling bersinergi antara masyarakat subak, perdesaan dan pihak luar.
Dengan demikian scara riil, pengelolaan ekowisata memerlukan adanya peraturan perundang-undangan yang saling berintegrasi antarberbagai sektor seperti pertanian, pariwisata, industri, pengelolaan sumber daya air, dan sektor lainnya yang terkait.
Suami dari Ir. Ni Made Widiani mengingatkan, kemitraan menjadi salah satu faktor penting dalam pengelolaan ekowisata, karena di dalamnya terdapat berbagai pemangku kepentingan yang terlibat.
Untuk itu diperlukan adanya pengaturan untuk menjamin distirbusi dan alokasi manfaat, terutama manfaat ekonomis, dan pembagian tanggung jawab dalam pengelolaannya. Yang paling penting pembagian pendapatan yang adil di antara pemangku kepentingan yang mampu menjamin keberlangsungan pengembangan ekowisata.
Guna mencapai sasaran yakni pembagian yang adil dan proporsional dapat dilakukan melaui kemitraan yang saling menguntungkan di atara mereka. Pengembangan pariwisata Bali tidak hanya dipandang sebagai bagian dari peningkatan ekonomi, namun juga bagian dari upaya pelestarian lingkungan dan ekosistem sawah.
Dalam pengembangan subak diperlukan upaya alternatif untuk dapat mewujudkan kelestarian sistem subak dan meningkatkan kesejahteraan petani ujar ayah dari Putu Dianisa Rosari Dewi dan Made Aditya Artha Nugraha.
Pengembangan ekowisata di kawasan subak itu selain meningkatkan kesejahteraan petani juga memberikan kepuasan kepada wisatawan terhadap kelestarian lingkungan.
Memberikan keuntungan bisnis bagi sektor swasta dan menciptakan iklim yang kondusif serta memaksimalkan dampak positif ekonomi, sosial dan terwujudnya keseimbangan pembangunan. (WDY)
Pengembangan Ekowisata Tambah Daya Tarik Bali
Rabu, 23 April 2014 14:47 WIB