Dibandingkan dengan pesta demokrasi lima tahunan sebelumnya, model kampanye para calon anggota legislatif dan anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2014 terdapat perbedaan.
Para caleg tidak lagi mengerahkan massa ke jalanan atau untuk sekadar memenuhi sisi panggung kampanye terbuka.
"Sebelum dimulai kampanye terbuka mereka sudah mengunjungi rumah penduduk, baik itu keluarganya maupun masyarakat di sekitar tempat tinggal," kata Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Denpasar I Wayan Sudarsana, Minggu (6/4).
Dia melihat model tersebut lebih diminati para caleg atas pertimbangan efisiensi, baik waktu maupun dana. "Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 tidak terlalu banyak partai politik yang melakukan rapat umum terbuka," katanya.
Panwaslu mencatat hanya beberapa partai politik, seperti Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menggelar kampanye terbuka di Kota Denpasar.
Di Bali, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Aburizal Bakrie dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menggelar kampanye terbuka.
Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sri Wigunawati memilih "blusukan" ke pasar-pasar tradisional sekaligus belanja beberapa kebutuhan pokok. "Cara itu lebih efektif untuk menyerap aspirasi rakyat," ujar perempuan yang berprofesi sebagai pengacara itu.
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Provinsi Bali tersebut memaparkan bahwa di Bali banyak kelompok masyarakat tradisional yang bisa menjadi sasaran kampanye.
"Ada desa adat, `sekaa teruna` (kelompok pemuda), kelompok PKK, dan `subak` (organisasi pengairan tradisional). Semuanya bisa menjadi objek kampanye," katanya.
Sementara itu, calon petahana DPRD Kota Denpasar dari Partai Gerindra I Ketut Resmi Yasa menganggap ada perubahan yang signifikan dari rezim partai bergeser menjadi figur yang lebih diutamakan dalam politik.
"Hal tersebut tidak terlepas dari makna demokrasi yang berarti kekuasaan ada di tangan rakyat, rakyat sekarang lebih membutuhkan sosok yang nantinya langsung bisa memperjuangkan aspirasi mereka," katanya yang sekarang duduk di kursi dewan sebagai anggota Komisi B.
Dia menilai dengan adanya perubahan dimana caleg lebih senang melakukan kampanye "blusukan" atau langsung dengan tatap muka sejalan dengan kebiasaan dan adat orang Bali yang gemar "simakrama".
Resmi Yasa menambahkan bahwa dengan melakukan kampanye langsung melalui tatap muka tersebut diharapkan bisa lebih menyerap aspirasi di masyarakat. "Selain itu, bisa tetap menjaga hubungan dengan konstituen yang telah mendukung saya sejak 2009," katanya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali Dewa Raka Sandhi mengapresiasi calon anggota legislatif yang memilih lebih melakukan kampanye blusukan atau tatap muka langsung sehingga mampu mengefisienkan dana untuk kampanye.
"Saya dengar dari beberapa caleg ketika turun memantau pelaksanaan kampanye terbuka," katanya.
Menurut dia, hal tersebut sah dan tidak ada aturan yang mengharuskan peserta pemilu memanfaatkan jadwal kampanye rapat umum terbuka. "Kami sudah memberikan porsi yang yang sama kepada peserta apakah mereka mau menggunakan atau tidak? Itu adalah hak peserta pemilu," katanya.
Dia menganggap bahwa efisiensi dana kampanye adalah hal yang wajar karena waktu pelaksanaan kampanye telah dimulai pada bulan Januari 2013 hingga April 2014. "Itu adalah waktu yang sangat lama dalam melakukan kampanye oleh para calon," kata Raka Sandhi.
Tiru Jokowi
Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Dr. Nyoman Subanda menilai kampanye "blusukan" populer ketika Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) mulai menjabat.
"Hal tersebut dia mulai ketika sudah menjabat menjadi Wali Kota Surakarta dan lebih dikenal masyarakat saat sudah memimpin Jakarta," katanya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Undiknas Denpasar mengatakan bahwa banyaknya caleg yang menerapkan kampanye "blusukan" atau tatap muka sebagai salah satu strategi politik kampanye hanya bersifat meniru saja.
"Politik di Indonesia cenderung meniru atau latah, dan hal tersebut menunjukkan kurangnya kreativitas dalam berpolitik," katanya.
Terkait dengan "blusukan" yang dipopulerkan oleh Jokowi, membuat banyak calon anggota dewan maupun pejabat yang dulunya tidak terbiasa turun ke pasar-pasar dan tempat kumuh sekarang beramai-ramai melakukannya.
"Saya melihat hal tersebut sangat naif, karena kecenderunganya adalah dukungan dan suara. Namun, Jokowi memang itulah jiwa dan kepribadiannya," ujar pria asal Kabupaten Buleleng ini.
Dia menegaskan bahwa model politik yang dipaksakan tersebut terlihat tidak elegan, dan akan lebih baik jika melakukan kampanye atau sosialisasi kepada masyarakat harusnya terkonsep dengan matang.
"Tidak dilakukan dengan spontan dan asal ikut saja," kata Subanda.
Konsep yang dimaksud lulusan Doktor Unair Surabaya itu adalah bagaimana bisa melakukan manajemen, selain itu visi dan misi yang ditawarkan kepada masyarakat juga harus jelas.
"Manajemen yang dimaksud adalah investasi sosial di tengah masyarakat, jangan begitu saja muncul dan menjadi seorang caleg," ujarnya.
Pria yang berusia 48 tahun tersebut berpandangan banyak caleg yang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya ketika sudah menjabat menjadi anggota dewan dan hal tersebut dikarenakan kurang matangnya konsep dan visi serta misi.
"Saya kira perlu diingat yang penting bukan hanya mendapatkan sebanyak-banyaknya suara. Namun, bagaimana memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat melalui perundang-undangan dan regulasi yang dihasilkan nanti," ujar Subanda. (M038)
Ramai-ramai Tinggalkan Panggung Kampanye
Senin, 7 April 2014 10:29 WIB