Denpasar (Antara Bali) - Ratusan umat Hindu Bali terkesan perjalanan suci atau "Tirtayatra" ke Pura Agung Mandara Giri Semeru Agung, Lumajang, Jawa Timur, bersama Gubernur Made Mangku Pastika dan para pejabat lainnya.
"Rombongan kita membaur dengan ribuan umat dari berbagai daerah, guna melakukan persembahyangan terkait upacara 'piodalan' atau serangkaian ritual berskala besar," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali I Putu Suardhika, Minggu.
Ia menyampaikan hal itu setibanya di Denpasar bersama rombongan pejabat Pemprov Bali dan lainnya yang melakukan perjalanan suci ke Pura Gunung Semeru tersebut sejak Jumat (2/7).
Menurut Suardhika, kehadiran ribuan umat Hindu yang memadati Pura Agung Mandara Giri Semeru Agung guna melakukan serangkaian ritual berskala besar, mampu memberikan kesan tersendiri yang berbeda dari biasanya.
Duta Agama Hindu Nusantara Drs Julianto juga mengakui, umat yang datang melakukan persembahyangan di pura tersebut tidak saja dari wilayah Jawa Timur, melainkan juga dari Pulau Bali, Lombok dan Sumatra.
"Upacara kali ini merupakan upacara ritual yang ke-18 sejak pura tersebut dilakukan upacara 'pemelaspas, ngenteg linggih'," katanya di Lumajang, Jawa Timur.
Ia mengatakan berdirinya pura itu sebagai suatu keyakinan umat sedharma untuk kembali membangun perjalanan leluhur Hindu dari tanah Jawa.
"Keberadaan pura tersebut membuat umat Hindu, khususnya di Jawa Timur, memiliki tempat suci sebagai pusat ritual terbesar untuk kegiatan keagamaan," ucapnya.
Sementara Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang hadir bersama pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPDP) dalam kegiatan ritual tersebut mengatakan, dalam tatanan upakara di pura itu agar tidak mengabaikan "desa, kala dan patra" (situasi dan kondisi masyarakat setempat).
"Saya berharap untuk melakukan upacara keagamaan di pura tersebut harus tetap berpatokan pada situasi, kondisi umat setempat, sehingga terjadi akulturasi budaya Jawa dengan Bali," katanya pada perjalanan suci yang juga disertai sejumlah Pemangku Pura khayangan Jagat di Bali.
Pura Mandhara Giri Semeru "diempon" atau dikelola oleh 2.000 kepala keluarga di desa berhawa sejuk di lereng sisi timur Gunung Semeru itu.
Pura suci terbesar umat Hindu di luar Bali itu proses pembangunannya digarap sejak tahun 1969, namun baru dapat diwujudkan seperempat abad kemudian, tepatnya tahun 1992.
Pembangunan tempat suci dikerjakan secara bertahap antara lain meliputi candi bentar yang berada di "jaba sisi", candi kurung di "jaba tengah". Di areal ini dibangun Bale Patok, Bale Gong, Gedong Simpen dan Bale Kulkul.
Pura juga dilengkapi dengan Pendopo Suci sebagai dapur khusus dan Bale Petandingan. Sementara itu di areal utama "Jeroan", juga dibangun Pengapit Lawang, Bale Ongkara, Bale Pesanekan, Bale Gajah, Bale Agung, Bale Paselang, Anglurah, Tajuk dan Padmanabha sebagai bangunan suci utama.
Di bagian timur pura dibangun Pesraman Sulinggih, Bale Simpen untuk peralatan, dan dua Bale Pegibungan. Di bagian selatan dibangun pula wantilan megah yang cukup luas.
Pembangunan pura yang tergolong megah dan kini menjadi tempat dari rangkaian kegiatan ritual di bagian lereng Gunung Semeru itu, dilatari konsep yang terkait dengan sumber susastra agama, antara lain disuratkan, "Ketika 'tanah' Jawa belum stabil, 'Batara Guru' menitahkan (memerintahkan) para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Hindu ke Jawa".
Titah itu dilakoni para Dewa, puncak Gunung Mahameru dipenggal diterbangkan ke tanah Jawa, jatuh di sisi barat, yang membuat Pulau Jawa berguncang, sementara bagian timur berjungkat dan bagian barat tenggelam.
Potongan puncak Gunung Mahameru menurut mitologi digotong lagi ke arah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru ada yang rempak, yang kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil.
Keenam gunung kecil itu masing-masing Gunung Lawu, Wilis, Kampud, Kawi, Arjuna dan Gunung Kemukus. Puncak Gunung Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Semeru, puncak tertinggi Pegunungan Tengger.
Sejak saat itu tanah Jawa menjadi stabil dan tidak lagi bergoyang. Di lambung Gunung Semeru itulah kini berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung yang mengadopsi budaya Bali-Jawa.
Kisah itu tersurat dalam kitab "Tantupangelaran' berbahasa Jawa digubah dalam bentuk prosa. Mitologi itu sekaligus menunjukan persebaran Hindu paham "Siwaistis" dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di Tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu "Siwaistis" berpengaruh besar di Nusantara, khususnya Pulau Nusa Dewata.
Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) di alam India atau puncak Gunung Semeru di alam Nusantara. Dari puncak ketinggian gunung yang bersalju abadi itulah Siwa menurunkan ajaran-Nya kepada Sakti-Nya Dewi Parwati dan Dewi Gunung.
Di sekitar gunung, baik di puncak, lereng dan kaki beristana Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa yang maha suci dan dipuja. Di sana pula kini digelar kegiatan ritual skala kecil, sedang dan besar secara berkesinambungan.(*)
