Puluhan anak-anak usia dini dan sekelompok wanita menunjukkan kebolehan melukis klasik gaya Kamasan, saat menerima kunjungan sekitar 150 anggota Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC) 2013 yang menyempatkan diri berkunjung ke Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung.
Puluhan anak-anak termasuk sejumlah ibu rumah tangga menggoreskan tangan di atas kanvas menciptakan warna menyerupai satu bentuk atau simbul yang kaya akan makna, mampu menggambarkan keindahan dan kedamaian.
Jiwa seni yang diwarisi masyarakat Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, Bali itu diwariskan kembali kepada anak cucunya, sehingga lukisan klasik Bali atau yang lebih dikenal lukisan gaya kamasan itu tetap lestari, diwarisi satu generasi ke generasi berikutnya.
Melihat kelincahan anak-anak usia dini menghasilkan karya seni, sejumlah anggota rombongan yang mendapat pengawalan ketat dari Kodim 1610 Klungkung itu mencobanya belajar melukis Jumat (4/10).
Seniman andal Mangku Darta dan Wayan Sumantara dari Banjar Geria Kamasan memandu dan melatih yang sebagian besar anggota rombongan tertarik belajar melukis gaya kamasan.
Veronika (29) dari Montery Meksiko dalam waktu singkat cukup berhasil meniru seniman setempat dalam menghasilkan lukisan wayang khas kamasan. Wanita yang juga seorang guru sekolah menengah atas itu menyatakan rasa kagum dan senang atas kesempatan bisa belajar melukis, meskipun dalam waktu yang relatif singkat.
"Saya senang dapat mengikuti latihan melukis gaya kamasan, karena di negara saya tidak ada lukisan sejenis wayang ini," tutur yang mengaku baru pertama kali datang ke Indonesia, khususnya Pulau Dewata.
Wayan Sumantara menjelaskan lukisan gaya kamasan memang sangat spesifik, karena warna dasarnya mempergunakan sejenis warna dari bebatuan yang disebut pare yang diambil dari Desa Serangan dan sekitar Pelabuhan Benoa Kota Denpasar.
Lukisan dibuat dengan dasar dari pare sehingga lukisan mampu bertahan hingga ratusan tahun. Ke 150 anggota KTT APEC selesai latihan singkat sempat melihat dari dekat aktivitas bengkel kerja sejumlah pelukis gaya kamasan, sekitar 65 km timur Denpasar.
Di tempat itu menyaksikan kegiatan anak-anak, remaja dan orang tua melukis Wayang khas Kamasan. Beberapa ibu rumah tangga lainnya beraktivitas membuat kain tenun, serta beberapa pria membuat seni pahat dari bahan slongsong peluru.
Beberapa kelompok anak-anak muda lainnya membuat kerajinan dari bahan baku uang kepeng. Rombongan delegasi KTT APEC tampak menikmati kreativitas masyarakat Desa Kamasan dalam menghasilkan karya seni yang mempunyai nilai ekoomis.
Nilai Historis
Pembantu Rektor I Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Drs I Ketut Murdana M.SN dalam kesempatan terpisah menjelaskan, Kamasan adalah salah satu Desa di kabupaten Klungkung, Bali yang memiliki nilai historis, karena salah seorang warganya, Ida Bagus Gelgel (alm), seniman serba bisa pernah mendapat penghargaan seni dari pemerintah Perancis pada tahun 1930.
Penghargaan dunia internasional itu, diraihnya berkat keahlian menciptakan karya seni yang bermutu di atas kanvas saat yang bersangkutan mengadakan pameran ke beberapa negara di belahan dunia.
Berkat promosi lewat pameran perdana seniman Bali ke mancanegara itu, Pulau Dewata mulai dikenal dan sejak saat itu pula, seniman asing berdatangan dan memilih kawasan Ubud, tempat untuk mengembangkan kreativitas seni.
Klungkung, khususnya Desa Kamasan merupakan cikal bakal pengembangan seni lukis tradisional di Bali, karena 83 tahun silam hasil kreativitas seniman setempat sudah mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional.
Namun, dalam perkembangannya seni lukis Klungkung, khususnya Desa Kamasan tetap tampil dengan ciri khas tradisional yakni lukisan wayang Kamasan, kurang mampu mengikuti perkembangan seni lukis yang berkembang pesat di perkampungan seniman Ubud.
"Adanya upaya Desa Kamasan membangun kawasan art centre, merupakan terobosan untuk meraih kembali kejayaan seni lukis dan jenis kesenian lainnya yang pernah diwarisi masa lalu," tutur Murdana yang juga seniman andal dalam bidang lukis.
Bali mengalami kemajuan dan perubahan, namun nilai seni budaya daerah tetap lestari serta menjadi kekuatan bagi masyarakat pendukung dalam mengembangkan berbagai usaha, khususnya industri kecil dan kerajinan rumah tangga, yang kini menjadi tulang punggung perolehan ekspor non migas.
Demikian pula pergeseran nilai-nilai budaya akibat kontak dengan dunia luar, tidak menjadi masalah bagi masyarakat Pulau Dewata. Kondisi demikian justru sebaliknya, masyarakat mancanegara kagum atas kemampuan masyarakat Bali mengembangkan dan melestarikan seni budaya sebagai salah satu daya tarik wisata.
Seni budaya Bali yang cukup dikagumi dunia internasional itu, seharusnya juga menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya di Pulau Dewata.
Harumkan Bali
Menurut Murdana, karya seni lukis menjadi salah satu sumber daya masyarakat yang mampu mengangkat dan mengharumkan Bali di tingkat nasional maupun internasional. Banyak pelukis-pelukis Bali muncul dengan mengusung bendera seni lukis Bali sebagai sebuah proses kreatif unggulan.
Proses kreatif seni kanvas tersebut berdampak positif terhadap pengembangan seni budaya, membangun sosial ekonomi masyarakat serta martabat seniman di forum internasional. Keunggulan seni lukis Bali dikaji dari sudut tata nilai yang dilakukan untuk keyakinan bagi komoditas pendukung, sekaligus diapresiasikan secara baik oleh masyarakat luas.
Proses pembelajaran seni lukis Bali melalui jalur formal dan informal, yang keduanya secara terpadu mampu membangun identitas tersendiri. Melalui jalur formal seni lukis ditempatkan sebagai salah satu minat utama, disamping seni patung.
Dalam karaktristik pengembangan seni lukis dihadapkan pada persoalan identitas peta seni lukis dunia, terutama seni lukis barat yang pengaruhnya telah melanda dunia. "Kita dihadapkan pada arus besar untuk membangun dan mengembangkan identitas yang diharapkan dapat bersaing," ujar Murdana.
Pengembangan potensi lokal yang ditetapkan dalam kurikulum lembaga pendidikan formal seperti ISI Denpasar mampu memberikan peluang besar dalam membangun identitas, meskipun tidak mungkin bisa dijawab dalam waktu singkat.
Langkah-langkah dan potensi perlu dipersiapkan dan digarap sejak dini, yang memungkinkan untuk dikompetisikan di tingkat internasional, salah satunya seni yang ditempatkan pada urutan terdepan, setelah bidang-bidang ilmu lainnya.
Beberapa pertimbangan yang melatar belakangi, bahwa seni lukis Bali telah mampu berbicara lintas budaya, lintas bangsa dan membawa citra tersendiri bagi Bali dan Indonesia umumnya.
Menurut Murdana dua seniman warga negara asing masing-masing Walter Spies dan Rodulf Bonnet mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perubahan karya-karya pelukis di Pulau Dewata.
Walter Spies, warga negara Jerman dan Rodulf Bonnet, warga negara Belanda yang secara kebetulan menemukan inspirasi dalam merampungkan karya seni memunculkan kebebasan kreatif kepada seniman setempat.
Perubahan karya-karya seniman Bali dari seni lukis klasik ke kebebasan kreatif maupun perluasan tema terjadi sejak tahun 1929. Kedua seniman asing yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali, bergabung dengan organisasi kelompok pelukis dan pematung Pita Maha Ubud.
Kedua seniman asing itu memberikan dorongan kepada seniman Bali untuk bersaing jati diri dalam menghasilkan karya seni yang baru. Identitas karya seni merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk pewayangan, dengan gerak yang lebih dinamis mendekati bentuk realistis dibandingkan dengan "pakem-pakem" seni lukis klasik Bali.
Munculnya unsur-unsur anatomi plastis, sinar, perspektif berkembangnya tema kehidupan sehari-hari dari sistem pewarnaan yang baru, tutur Murdana.
Tokoh pelukis yang muncul saat itu antara lain Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gede Sobrat, Ida Bagus Made, Gusti Made Deblog, Gusti Ketut Kobot dan I Gusti Nyoman Molog. Sementara di Desa Batuan, Gianyar muncul gaya lukisan yang berbeda, yakni objeknya penuh sesak, tanpa ada ruang kosong sedikitpun, bentuknya ke kanak-kanakan tanpa perspektif.
Warna lukisan hitam putih yang amat pekat, menampilkan kesan magis, sehingga karya kanvas seniman dari Batuan menunjukan karakter magis yang sangat kuat berbeda dengan kelompok Ubud, meskipun Rudolf Bonet dan Walter Spies sering bergaul ke Batuan, namun pengaruh karya-karya kedua seniman asing itu tidak tampak sama sekali, ujar Murdana.
Ke-150 anggota delegasi KTT APEC dalam kunjungannya ke Kabupaten Klungkung sebelumnya ke Nusa Dua juga sempat melihat dari dekat Kertagosa "saksi bisu" kejayaan Kerajaan Klungkung yang pernah menaklukkan hampir seluruh kerajaan di Bali pada abad XVIII.
Keunikan Kertagosa dengan Bale Kambang ini adalah pada permukaan plafon atau langit-langit bale yang dihiasi dengan lukisan tradisional gaya wayang Kamasan. (WRA)
Delegasi APEC Kunjungi Pusat Lukisan Klasik Bali
Sabtu, 5 Oktober 2013 20:35 WIB